TIRTA Mandhira Hudi (MBA ’24) atau yang lebih dikenal dengan nama Dokter Tirta menjalani wisuda Program Magister SBM-ITB pada 27 April 2024 lalu di Sasana Budaya Ganesha, Bandung. Dia dikenal publik bukan hanya karena profesinya di bidang medis, tetapi juga kiprahnya sebagai pembuat konten, influencer, dan pebisnis. Jasa pencucian sepatu, Shoes and Care; klinik kulit dan kebugaran Nom Clinic dan agensi konsultan bisnis Forewave hanyalah beberapa bisnis yang dijalankannya.

Dokter Tirta bercerita tentang pengalaman kuliah magisternya, tesisnya tentang pengaruh pembuat konten hingga cita-cita terpendamnya untuk mengajar, kepada M. Rizki Hariz (DP’06) dari Alumnia di sela-sela Ganesha Business Management Festival di Bandung, pada pertengahan Mei lalu. Berikut ini petikannya:

T : Anda adalah dokter, sudah memiliki bisnis, dan sudah menjadi pembuat konten terkenal, mengapa masih ingin bersekolah S2?

J : Saya kuliah Master of Business Administration (MBA) ka-rena kebutuhan pekerjaan. Saya berbisnis hampir 10 tahun dan saya baru mengetahui bahwa saya memiliki kekurangan di bidang pengaturan manajerial. Jadi saya memutuskan ku-liah untuk meminimalisir kesalahan pengambilan keputusan.

T : Kenapa memilih SBM-ITB?

J : Karena kurikulumnya. Saya mengecek kurikulum yang di-tawarkan. Ada beberapa topik yang saya suka dari pemasa-ran digital hingga keuangan. Jadi berhubungan dengan pe-kerjaan sebagai konsultan dan pebisnis. Tidak perlu matriku-lasi juga untuk MBA.

T : Apa pengalaman paling berkesan ketika ikut progam MBA?

J: Ketika saya uji proyek terakhir. Pengujinya Pak Jacob Silas Mussry, CEO Markplus yang pekerjaannya sama se-perti saya, konsultan digital marketing. Jadi sangat ber-kesan ketika beliau menguji saya. Saya dapat nilai A.

T : Mantap. Sebelumnya sudah kenal?

J : Belum. Saya tahu karena beliau pembicara. Saya juga beli buku Marketing 5.0 yang ditulis Iwan Setiawan—salah satu pemilik Markplus dan berkolaborasi juga dengan Philip Kotler (Bapak Marketing Modern dari Amerika Serikat).

T: Bagaimana Anda membagi waktu kuliah dengan bekerja?

J: Delegasi. Saya punya keistimewaan karena bisnisnya sudah 10 tahun, sehingga saya memiliki tim-tim inti untuk membantu saya. Saya biasanya berbagi ilmu yang saya da-pat dari kuliah ke tim inti saya. Lagi pula kuliahnya tiga kali seminggu. Masih memungkinkan dengan manajemen waktu yang baik.

T : Apa alasan memilih tema efek Brand Ambassador sebagai tesis Anda?

J : Selama tiga tahun terakhir, ada perdebatan yang me-ngatakan bahwa influencer tidak berguna, hanya viral saja tapi barangnya tak laku. Nah pernyataan itu tidak bisa di-buktikan jika tidak melakukan penelitian. Maka saya me-nggunakan metode penelitian kuantitatif untuk menilai apakah influencer itu meningkatkan konversi penjualan sebuah merek sepatu.

T : Apa hasil penelitian tesis Anda?

J : Hasil penelitian saya, strategi makro itu efektif untuk menunjang penjualan langsung dan awareness. Tetapi untuk meningkatkan kepercayaan pelanggan dan keber-lanjutan itu menggunakan strategi mikro. Keduanya ber-peran penting. Tidak berarti strategi ini lebih baik dari yang lain. Saya tidak bisa asal mengeluarkan pernyataan, harus dibuktikan dalam penelitian.

T: Bagaimana penelitian itu berhubungan dengan peran influencer?

J: Strategi influencer efektif tergantung tujuan. Mau me-ningkatkan awareness, penjualan langsung, profit, keper-cayaan atau keberlanjutan dari merek itu. Pemilihan stra-tegi pemasaran harus menggunakan data, diatur datanya, kerja sama dengan analis data sehingga ada hasil untuk konversi ke penjualan.

T: Apakah klien memahami hal-hal seperti ini?

J : Klien harus tahu. Karena semua klien perusahaan di Indonesia rata-rata menggunakan konsultan pemasaran digital seperti ini. Jadi, tidak bisa menggunakan intuisi, “kayaknya viral.” Enggak ada kayaknya. Pemasaran harus ada angkanya. Kalau kita mengeluarkan bujet segini, menghabiskan segini, dampaknya apa, hasilnya apa. Kalau tidak bisa dipertanggung jawabkan berarti kampanye gagal.

T : IPK Anda 3,85, berarti Anda lulus cum laude?

J : Alhamdulillah, berarti saya mantengin nilai dengan baik. Tapi yang penting adalah bukan cum laude-nya. Tapi ilmu yang saya dapet selama S2 itu harus berperan penting dalam kerja saya. Jika tidak, berarti saya gagal. Karena cum laude itu sebagai nilai doang. Enggak ada yang tanya juga klien saya.

T : Apa saran Anda kepada teman-teman yang masih bimbang untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang S2?

J :Yang penting, jika ingin melanjutkan ke jenjang S2 harus disesuaikan dengan tujuan kita. Apakah Anda ingin menjadi akademisi, pengajar, peneliti, atau hendak meningkatkan pola pikir dalam dunia kerja saat ini. Kalau ingin menjadi peneliti, ambil jurusan yang menunjang penelitianmu. Kalau untuk pekerjaan, ambil jurusan yang menunjang pekerjaanmu. Jadi S2 itu beda dengan S1. S2 itu meningkatkan soft skill. S1 meningkatkan hard skill.

T : Bagaimana dengan S3?

J : S3 lebih tersegmentasi lagi, untuk dedikasi kepada lingkungan dan masyarakat.

T : Apakah Anda berniat melanjutkan ke S3?

J : Memang akhirnya saya ingin mengajar. Jika saya merasa sudah cukup, saya ingin mengajar dan saya ingin mengembangkan jurusan baru di bidang manajemen pemasaran kesehatan. Karena di Indonesia belum ada. Jadi saya dokter dan saya ingin mengembangkan juru-san pascasarjana ke dokter-dokter di bidang pengem-bangan bisnis dan pemasaran khusus kesehatan. Dokter yang khusus di pengembangan bisnis kesehatan itu akan mendorong fasilitas kesehatan itu berkembang. Jadi khusus pemasaran kesehatan, data kesehatan, cara pe-ngembangan bisnis kesehatan, pernyataan keuangan kesehatan.