Lukisan-lukisan Pirous menjadi penanda penting dalam perkembangan seni rupa modern Indonesia. Berawal dari perjalanan mencari identitas.

SYAHDAN, ia pergi mengembara meninggalkan tanah kelahirannya di Meulaboh. Sang ayah sering membisikkan sebuah kalimat padanya: Ja’u Timu (mengarahlah ke timur). Ia memilih Bandung sebagai tempat tujuannya, dan di kota itu, ia mendapatkan sesuatu yang penting: ilmu pengetahuan.

Ia adalah Abdul Djalil Pirous atau yang lebih kita kenal sebagai A.D. Pirous. Ia adalah seniman, desainer, budayawan, pengajar, akademisi dan organisatoris. Ia menjadi salah satu seniman didikan Seni Rupa ITB (dulu bernama Balai Pendidikan Universiter Guru Gambar) yang berperan besar dalam sejarah seni rupa modern Indonesia.

Pirous menghasilkan karya-karya pionir yang menjadi salah satu penanda penting dalam perkembangan seni rupa modern di Indonesia. Lukisan-lukisannya membawa corak baru dalam seni rupa modern melalui kepekaan atas bahasa bentuk. Lukisannya menyajikan berbagai unsur rupa yang berpadu dengan susunan kaligrafi Arab. Lukisan Pirous membawa seni kaligrafi berkembang melampaui konvensi lazim; kaligrafinya tak lagi mengikuti kaidah khattiyah yang ada.

Pun, kaligrafi dalam lukisan-lukisan Pirous tak lagi sekedar menulis indah ayat suci, melainkan menjadi medium perenungan serta pemaknaan terhadap berbagai pengalaman atas peristiwa yang terjadi di sekitarnya. Semenjak kehadiran lukisan kaligrafi ala Pirous, kecenderungan lukisan kaligrafi bernafaskan Islam semakin populer di dalam perkembangan seni rupa modern Indonesia.

Lukisan-lukisan Pirous bukanlah sebuah hasil proses yang instan dan tenang, tetapi hasil dari sebuah perjalanan panjang. Perjalanan itu berawal ketika ia belajar di Balai Pen-didikan Universiter Guru Gambar. Dia berguru pada dosen Belanda, Ries Mulder yang memperkenalkannya kepada seni lukis modern. Ia belajar tentang bahasa bentuk. Di penghujung studinya, Pirous lebih memilih untuk menjadi seorang seniman ketimbang guru.

Pada 1970-an, Pirous mendapat kesempatan untuk melakukan lawatan ke Amerika Serikat. Dia mengunjung sejumlah museum dan galeri seni. Perjalanan itu menghadapkan Pirous pada kegelisahan: “Baiklah Pirous, siapakah Anda sesungguhnya?”

Pertanyaan yang bersangkut-paut dengan persoalan identitas tersebut, kemudian menghantar Pirous untuk menenengok kembali ke timur, ke tanah kelahirannya: Aceh. Penelusurannya kembali kepada asal-usul kelak membawanya menemukan bahasa ungkap dalam karyanya yang masyhur.

Lukisan-lukisan Pirous memperlihatkan berkelindan-nya berbagai unsur yang membentuk diri sang seniman. Citra kaligrafi Arab beserta bongkahan-bongkahan berupa tekstur di atas kanvas menunjukkan kehadiran unsur Islam dan Aceh. Citra bongkahan merupakan hasil studi Pirous terhadap berbagai batu nisan yang ada di Aceh.

Sementara penggarapan aspek bentuk, warna, garis, tekstur, serta komposisi di dalam kanvas adalah hasil kepekaan yang didapat melalui penerapan kaidah-kaidah seni rupa modern barat. Maka, lukisan-lukisan tersebut sea-kan memperlihatkan lapisan identitas dalam diri Pirous: seo- rang seniman muslim Indonesia yang berasal dari Aceh dan belajar prinsip-prinsip (seni rupa) modern barat.

Setelah masa studinya di Amerika Serikat berakhir, Pirous kembali ke Indonesia dengan membawa beberapa oleh-oleh bagi almamaternya, Seni Rupa ITB. Ia meletakkan dasar bagi berdirinya Program Studi Desain Grafis ITB pada 1973.

Program studi tersebut hingga kini terus berkembang dan telah mencapai usia 50 tahun. Pendirian itu menjadi angin segar, mengingat pada masa sebelumnya belum ada suatu lembaga pendidikan yang mengajarkan dasar keilmuan tentang desain grafis di Indonesia.

Oleh-oleh lain juga dibawa pulang oleh Pirous; sebuah konsep acara yang mempertemukan seniman beserta karya seninya dengan khalayak luas, dan membuka kesempatan bagi khalayak untuk memiliki karya seniman dengan harga yang terjangkau: Pasar Seni ITB. Acara ini pertama kali digelar pada dekade 1970an dan kini menjadi tradisi serta ciri khas dari Seni Rupa ITB.

Di luar kampus, Pirous mendirikan DECENTA pada 1970an bersama G. Sidharta, Adriaan Palar, Sunaryo, T. Sutanto dan Priyanto Sunarto. Sebuah organisasi yang be-kerja dalam ranah desain grafis maupun seni yang eksis hingga periode 1980an. Beberapa hal penting yang bisa di- tandai dari aktivitas dan ciri khas DECENTA adalah kemunculan unsur-unsur lokal dari berbagai kebudayaan etnik di Indonesia. Mereka juga berperan dalam mempopulerkan karya hasil kerja teknik cetak-saring (sablon) kepada khalayak luas.

Satu lagi “karya” Pirous di luar kampus yang masih ada sampai hari ini tentu saja Serambi Pirous. Sebuah ruang di rumahnya yang aktif menyelenggarakan berbagai aktivitas kebudayaan, seperti pameran, diskusi, serta workshop. Serambi Pirous juga menunjukkan dia seorang kolektor.

Beberapa kali Serambi Pirous memamerkan karya-karya seniman Indonesia maupun luar negeri yang menjadi koleksi pribadi Pirous. Menariknya, koleksi-koleksi tersebut bukan merepresentasikan sebuah hubungan ekonomi (jual-beli) melainkan hubungan pertemanan yang akrab. Pirous memang hanya mengkoleksi karya para seniman yang menjadi sahabat karibnya.

Bagi siapapun yang pernah berkunjung dan bertamu ke rumahnya, tentu akan tahu bahwa di rumahnya yang asri itu, Pirous tidak hanya menyimpan karya para sahabatnya sebagai koleksi, namun juga menyimpan banyak arsip serta dokumentasi berbagai kegiatan seni rupa dan budaya yang telah terjadi di Indonesia melintas zaman.

Seringkali berbagai arsip tersebut ditunjukkan oleh Pious di sela-sela sebuah obrolan atau wawancara. Arsip-arsip tersebut menjadi pelengkap dari ingatan Pirous yang juga masih kuat tentang berbagai peristiwa yang pernah terjadi. Pirous juga adalah seorang saksi sejarah sekaligus pengarsip yang sangat tekun dan rapi.

Pada 1964, Pirous menyelesaikan sebuah tesis untuk studi sarjananya yang berjudul Seni Pariwara sebagai Alat Propaganda Perjuangan. Tesis ini adalah sebuah tulisan hasil penelusuran Pirous terhadap sejarah dan arsip, di samping pengalamannya sebagai pelaku sejarah.

Tesisnya itu mengungkapkan salah satu fase sejarah dalam perkembangan pariwara atau poster di Indonesia yang menggambarkan peran seniman dalam perjuangan kemerdekaan, satu hal yang sangat jarang dibahas dalam narasi sejarah kita. Tesis ini diterbitkan dalam buku berju-dul sama pada 2021. Pirous berpulang, tetapi karya-karyanya menjadi warisan bagi dunia seni rupa modern Indonesia hari ini, esok, dan seterusnya.