Jakarta tak lagi berstatus ibu kota negara. Apa dampaknya bagi ekonomi megapolitan?

UNDANG-undang Daerah Khusus Jakarta resmi diteken Presiden Joko Widodo pada 25 April 2024 lalu atau dua bulan usai melepas status khusus sebagai ibu kota. Aturan baru itu menyebut Jakarta akan menjadi pusat perekonomian nasional dan kota global. “Jakarta masih akan jadi pusat aktivitas bisnis,” kata Hardiyanto Kenneth, Anggota Komisi D DPRD DKI Jakarta, kepada Alumnia awal Mei lalu.

Aturan itu menyebut pembangunan Jakarta akan terpadu dalam satu kawasan aglomerasi, yang saling memiliki keterkaitan fungsional. Ihwal kawasan aglomerasi itu dijabarkan secara khusus di dalam Bab IX yang mencakup pasal 51-60. Kawasan itu mencakup Provinsi Daerah Khusus Jakarta, Kabupaten Bogor, Kabupaten Tangerang, Kabupaten Bekasi, Kabupaten Cianjur, Kota Bogor, Kota Depok, Kota Tangerang, Kota Tangerang Selatan, dan Kota Bekasi.

Perubahan status Jakarta diproyeksikan berdampak pada laju ekonomi Jakarta. Setidaknya menurut hasil riset Universitas Indonesia dengan PricewaterhouseCoopers (PwC). “Dengan intervensi pemerintah, nilai PDRB (Produk Domestik Regional Bruto) bisa mencapai Rp 6,8 ribu triliun pada 2030. Tapi intervensi itu tak bisa dimulai hanya setahun,” kata Denny Irawan, Kepala Penelitian Ekonomi PwC, akhir tahun lalu.

PDRB Jakarta diproyeksikan dapat tumbuh rata-rata 5,8% per tahun sampai 2030. Perkiraan itu telah memperhitungkan rata-rata inflasi tahunan sebesar 4,2% per tahun pada 2023 lalu. Namun, jika tak ada intervensi dari pemerintah atau Jakarta dibiarkan tumbuh secara autopilot, pertumbuhan ekonomi rata-rata Jakarta hanya akan mencapai 4,5% per tahun, dimulai dari 2023 hingga 2030.

Hal ini disebabkan adanya penurunan investasi dari pemerintah pusat sebesar 4,5% pada 2030 dibandingkan pada 2023. Adanya penurunan transfer anggaran dari pemerintah pusat sebesar 35% pada periode yang sama ikut menyumbang signifikansi penurunan itu.

Pada Senin, 6 Mei 2024, Badan Pusat Statistik (BPS) Jakarta, mengumumkan ekonomi Jakarta tumbuh 4,78% secara tahunan di kuartal I-2024, dengan nilai PDRB sebe-sar Rp 896,1 triliun. Pertumbuhan itu melambat dari periode yang sama pada 2023 yang mencatatkan pertumbuhan sebesar 4,93%.

Pertumbuhan PDRB Jakarta itu ditopang oleh sektor administrasi pemerintahan dan jaminan sosial wajib yang tumbuh paling tinggi yaitu 14,16% dengan distribusi PDRB sebesar 4,5%. Sementara dari sisi pengeluaran, pertumbuhan PDRB tertinggi disumbang oleh konsumsi pemerintah yang mengalami pertumbuhan tertinggi, yaitu sebesar 30,3%, dengan kontribusi terhadap ekonomi 11,6%.

Menurut Djoni Hartono, Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis UI, perpindahan perpindahan Ibu Kota Negara ke IKN akan menambah 0,29% PDB riil nasional dan menambah penyerapan tenaga kerja sebesar 0,3%. “Tetapi PDRB riil Jakarta turun 7,07 % terhadap business as usual dan penyerapan tenaga kerjanya berkurang 5,31 persen,” kata dia dalam Seminar Outlook Jakarta 2024 di Jakarta, Rabu, 6 Desember 2023.

Institute for Development of Economic and Finance (INDEF) pada 2019 silam penah merilis riset menggunakan model ekonomi keseimbangan umum (CGE) tentang pemindahan ibu kota. Hasil riset itu menunjukkan bahwa pemindahan ibu kota menguntungkan bagi provinsi tujuan, namun belum tentu mengurangi ketimpangan dengan provinsi sekitarnya, “bahkan cenderung merugikan karena konektivitas yang belum terbangun dengan solid.”

Salah satu penyebabnya, perpindahan ibu kota yang dibarengi dengan perpindahan Aparatur Sipil Negara (ASN) akan menyebabkan konsumsi rumah tangga yang berasal dari keluarga ASN akan turun sehingga potensial menurunkan laju ekonomi Jakarta. Selain itu, belanja barang dan jasa yang terkait dengan aktivitas penyelenggaraan pemerintahan akan turun.

Asisten Perekonomian dan Keuangan Setda Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta Sri Haryati mengatakan optimistis Jakarta tetap dapat bertumbuh dengan baik. “Salah satu peluangnya adalah mengoptimalkan potensi pariwisata Jakarta yang mencatatkan tren pertumbuhan usai pandemi Covid-19,” kata dia dalam Seminar Outlook Jakarta 2024.

Apabila dibandingkan dengan 2023, tingkat hunian kamar hotel berbintang di Jakarta pada periode Januari dan Februari 2024 masing-masing bertumbuh dengan capaian 51,7% dan 51,1%. Pada 2023 lalu, di periode yang sama, tingkat keterisian kamar hotel berbintang berada di angka 48,4% dan 52,6%.

Selain itu, terdapat peluang dengan mengoptimalkan potensi berbagai aset milik negara yang berada di Jakarta. Menurut perhitungan Direktur Perumusan Kebijakan Kekayaan Negara, Direktorat Jenderal Kekayaan Negara Kementerian Keuangan Encep Sudarwan, nilai aset pemerin-tah pusat yang berada di Jakarta adalah sebesar Rp 1.640 triliun yang berupa gedung lembaga dan kementerian, tanah, serta bangunan lainnya.

Menurut Encep, Kementerian Keuangan tengah menyusun konsep penggunaan aset-aset pemerintah pusat, khususnya berupa gedung-gedung kementerian dan lembaga. Ia menjelaskan ada dua strategi yang akan diambil, yaitu prioritas pertama adalah digunakan oleh kementerian dan lembaga yang masih memerlukan gedung perkantoran di Jakarta dan kedua adalah menyewakannya. Menurut perhitungan, jumlah aset yang dapat dioptimalisasi untuk rencana kedua adalah sebesar Rp 310 triliun.

Profil IKN sebagai Ibu Kota Baru Pengganti Jakarta

Nama: Ibu Kota Nusantara

Luas: 2.561 km2

Kawasan Strategis Nasional: 256.142 hektare

Kawasan Pengembangan IKN: 199.962 hektare

Kawasan IKN: 56.180 hektare

Kawasan Inti Pusat Pemerintahan: 6.596 hektare

Kluster Ekonomi:

1. Kluster Industri Teknologi Bersih

2. Kluster Farmasi Terintegrasi

3. Kluster Industri Pertanian Berkelanjutan

4. Kluster Ekowisata dan Wisata Kesehatan

5. Kluster Bahan Kimia dan Produk Turunan Kimia

6. Kluster Energi Rendah Karbon

Kluster Pendukung:

1. Kluster Pendidikan Abad ke-21

2. Smart City dan Pusat Industri 4.0

Biaya pembangunan: Rp 466-486 triliun (sampai 2045)

Deforestasi dan degradasi (2018-2021)*:

14,01 ribu hektare di hutan produksi

3,14 ribu hektare di area penggunaan lain (APL)

807 hektare di taman hutan rakyat (tahura)

9 hektare di hutan lindung

15 hektare di area lainnya

*(data Forest Watch Indonesia)