Lintang Kusuma Pratiwi: Misi Mengubah Wajah Pertanian Indonesia
Lintang merintis Elevarm, perusahaan teknologi pertama di Indonesia yang berfokus pada hulu pertanian. Startup ini baru saja menerima pendanaan awal US$ 2,6 juta (Rp 41,7miliar).
USIA muda adalah kekuatan. Terlebih jika pada usia muda, seorang perempuan mampu membangun bisnis yang bukan hanya menghasilkan profit tetapi meningkatkan kesejahteraan orang banyak. Inilah yang dilakukan Lintang Kusuma Pratiwi (RP ’14). Pada 2022, Lintang ber-sama Febi Afdil Ifdillah (IF ’14) dan Bayu Syerli Rahmat (KR ’00) mendirikan Elevarm, perusahaan teknologi pertanian.
“Kami melihat peluang bisnis dari sektor hulu pertanian yang mampu memberdayakan petani,” kata Lintang dalam wawancara daring kepada Alumnia, Senin, tengah Mei lalu. Dia menjelaskan bahwa visi perusahaannya adalah membangun ekosistem pertanian berkelanjutan yang adil. Caranya, dengan memberikan akses pada petani untuk memperoleh pengetahuan, produk penunjang pertanian, permodalan hingga pemasaran. Ia ingin perusahaannya menjadi solusi bagi banyak masalah pertanian.
Keinginan Lintang mengubah wajah pertanian Indonesia bermula dari perkuliahannya di ITB. Ia melihat bahwa permasalahan pertanian itu kompleks, tidak bisa diselesaikan dalam waktu singkat. Dari rendahnya produktivitas, sulitnya akses ke lahan pertanian, kemiskinan hingga cuaca ekstrem menjadi sebagian dari banyak masalah pertanian.
Ketika kuliah tingkat akhir, Lintang bersama Febi, mendirikan Neurafarm, aplikasi yang mampu mengidentifikasi penyakit tanaman menggunakan teknologi kecerdasan buatan. “Petani atau pengguna hanya perlu mengambil foto,” kata Lintang.
Namun, tidak banyak petani yang memiliki akses terhadap aplikasi tersebut. “Dari situ, kami menyadari tidak bisa semuanya mengandalkan aplikasi. Harus ada pelayanan lain untuk petani,” kata Lintang. Neurafarm yang berhenti beroperasi pada akhir 2021 merupakan cikal bakal Elevarm.
Bersama Febi dan Bayu—yang lebih lama berkiprah di sejumlah perusahaan teknologi, Lintang membangun Elevarm yang mengkhususkan diri pada pertanian hortikultura. Aturan pasar untuk tanaman hortikultura belum ada. Sehingga, “kesempatan untuk berkembang masih besar,” kata Lintang.
Menurut Lintang, produktivitas pertanian rata-rata tanaman hortikultura terbilang rendah. Di tingkat ASEAN, kata Lintang, Indonesia tertinggal jauh dari negara tetangga. Padahal, “lahan pertanian kita lebih luas,” katanya. Berdasarkan data BPS, rata-rata produktivitas kentang Indonesia selama 2015-2020 adalah sebesar 18,3 ton per hektar. “Di Vietnam itu bisa 40 ton per hektar,” katanya.
Untuk menjangkau petani, Lintang membidik tokoh yang berpengaruh (local champion) di daerah pertanian itu. “Jika performa pertanian lebih baik, maka petani-petani sekitarnya secara sukarela akan bergabung dalam ekosistem kami,” kata Lintang.
Dalam dua tahun, Elevarm telah memiliki 13.000 mitra pertanian dan 5.000 petani aktif dengan luas lahan 400 hektar di Jawa Barat, Jawa Tengah dan DI Yogyakarta sebagai pelanggan.
Kinerja Elevarm yang dipublikasikan di situsnya menun-jukkan pertumbuhan imbal hasil petani. Dari rata-rata 1,6 ton pada 2022 menjadi 2,4 ton pada 2023. Angka itu lebih tinggi 5% dari rata-rata nasional.
Jumlah petani yang bergabung dalam ekosistem Elevarm juga mengalami penurunan kemiskinan dari 54% pada 2022 menjadi 35% pada 2023. Tetapi, menurut Lintang, “dampak riil yang dirasakan petani baru akan tercipta pada tahun ketiga atau keempat.”
Berdasarkan data Crunch Base, pada Mei 2024, Elevarm telah mengantongi US$ 2,6 juta (Rp 41,7 miliar) pendanaan awal dari Insignia Ventures Partner, Gibran Huzaifah, 500 Global, Endevor Indonesia, Fajrin Rasyid, dan Arip Tirta.
Lintang lahir dan besar di Bogor. Ketertarikan Lintang terhadap pertanian muncul ketika SMA. “Saya direkomendasikan mengambil ilmu teknologi hayati atau pertanian. Karena nilai-nilai saya tinggi di Biologi,” kata Lintang. Mengikuti rekomendasi itu, Lintang mendaftar menjadi mahasiwa Rekayasa Pertanian ITB—yang saat itu baru dibuka dua tahun.
Lintang hanya mengalami satu tahun kuliah TPB di kam-pus Ganesha. Tiga tahun berikutnya ia lebih banyak beraktivitas di Kampus Jatinangor. Lintang sering menggunakan bus kampus yang menghubungkan Jatinangor-Ganesha untuk aktivitas kemahasiswaan. Saat kuliah, Lintang juga bergabung dalam Nautika, Unit Selam ITB.
Pada 2023, Lintang memperoleh penghargaan 30 under 30 Forbes Asia atas kiprahnya mendirikan dan membangun Elevarm. Lintang dan timnya memiliki mimpi besar. Dia berharap, perusahaan yang ia rintis dapat berkembang hingga ke luar Jawa. “Komoditi juga akan diperluas ke tanaman kayu yang memiliki nilai tinggi seperti cokelat atau lada,” ujarnya.
Kesejahteraan 70 karyawan kini menjadi motivasinya. Lintang juga memiliki mimpi untuk memiliki sekolah atau yayasan petani. “Kami ingin ada inisiatif sosial untuk anak-anak petani atau petani wanita janda yang ditinggal suaminya,” katanya. Saat ini, kata Lintang, jumlah mitra petani perempuan yang tergabung dalam ekosistem Elevarm telah meningkat tiga kali lipat dari 138 orang menjadi 435 orang.
Petani muda dalam ekosistem Elevarm juga mening-kat. Jumlahnya hampir tiga kali lipat dari 246 orang menjadi 632 orang. Menurut Lintang, banyak anak muda tak ingin menjadi petani. Padahal, “regenerasi petani menjadi hal yang sangat penting. Ini sangat berhubungan dengan ketahanan pangan nasional,” katanya.