Arvila bukan hanya satu dari segelintir perempuan yang berprofesi sebagai insinyur jembatan, dia adalah inovator desain konstruksi. Karya-karyanya membuka akses ke daerah terisolir.

DI perempatan Jalan Gatot Subroto yang bersilangan dengan Jalan Rasuna Said, jembatan LRT Jabodebek yang melengkung tampak melayang di atas jalanan sibuk Jakarta. Melayang, karena tak ada tiang-tiang penyokong di bawahnya.

Jembatan lengkung karya Arvila Delitriana (SI ’89) ini menjadi sorotan ketika LRT diresmikan pada Agustus tahun lalu. Jika jembatan itu dibuat dengan tiang penyangga, anggaran proyek pembangunan LRT bisa membengkak. Sebab, harus ada lahan yang dibebaskan untuk memasang tiang pondasi.

Ketika jembatan lengkung dengan radius kecil dan bentang lebar itu mampu berdiri kokoh, perancangnya layak disebut sebagai inovator desain konstruksi. Namun, proses untuk merealisasikan jembatan panjang melengkung tanpa tiang di pusat kota Jakarta ternyata tidak mudah.

Saat desain diajukan, belum pernah ada yang membangun jembatan lengkung sepanjang itu di Indonesia. “Itu jadi tantangan buat Ujang (staf PT Adi Karya, kontraktor pembangunan jalur LRT) dan saya untuk bisa meyakinkan pihak manajemen dan Kementerian Perhubungan bahwa jembatan desain saya bisa dihitung dan bisa dikerjakan,” kata Arvila kepada Alumnia, pertengahan Mei lalu.

Secara konsep, teori, dan setelah berhitung kekuatan, Arvila yakin jembatan lengkung tanpa penyangga dengan radius 115 meter dan bentang 148 meter memungkinkan untuk konstruksi. Apalagi, ini bukan kali pertama Arvila merancang dan membangun jembatan lengkung tanpa penyangga meski pada karya-karya sebelumnya, “tidak sepanjang ini dan radiusnya tidak sekecil ini,” katanya.

Toh, banyak pihak tetap cemas. Khususnya bila pembangunan dari sisi utara dan selatan jembatan itu tidak presisi ketika bertemu di titik tengah. “Saya meyakinkan mereka bahwa saya mengantisipasi semua tahapan dan memperhitungkan kesalahan geometri,” katanya.

Pada 2019, jembatan yang dirancang Arvila ini memperoleh dua rekor MURI: sebagai jembatan kereta beton lengkung dengan bentang terpanjang dan sebagai jembatan dengan uji pembebanan aksial terbesar.

Perkenalan Arvila dengan konstruksi jembatan bermula ketika proyek pembangunan jembatan yang menghubungkan Pulau Batam, Rempang,dan Galang dimulai. Jembatan yang dikenal dengan nama Barelang itu merupakan inisiatif Habibie untuk menjadikan Batam pusat ekonomi dan Industri yang mampu bersaing dengan Singapura.

Saat itu, Arvila tengah melanjutkan studi magister Teknik Sipil bidang Rekayasa Geoteknik di ITB. Jodi Firmansyah, dosennya—yang belakangan menjadi atasan Arvila—menjadi pelaksana teknis proyek Barelang. “Dari proyek itu, saya tertarik dengan jembatan. Manfaatnya sangat besar untuk masyarakat,” kata dia.

Banyak daerah terisolir di Indonesia kini terbuka aksesnya. Jembatan Tengku Agung Sultanah Latifah di Siak, Riau, misalnya. “Pelajar yang semula harus berjam-jam untuk mencapai sekolah dengan rakit, kini dapat diantar dengan menggunakan motor.”

Hingga saat ini, Arvila terlibat lebih dari 100 proyek jembatan di berbagai penjuru Indonesia, Antara lain, Jembatan Kalikuto di Gringsing, Batang; Jembatan Pedamaran di Rokan Ilir, Riau, dan Jembatan Kereta Api di Cirebon. “Setiap jembatan punya cerita,” kata Arvila.

Aspek lingkungan yang kerap menjadi kritik setiap pembangunan pondasi menjadi hal yang dia pertimbangkan ketika mengerjakan proyek jembatan. “Kaki jembatan yang sedikit lebih tidak merusak lingkungan dibandingkan jika banyak kaki,” katanya. Namun, kata dia, kaki jembatan yang sedikit sering tak menjadi prioritas. “Proyek seringkali berpihak pada biaya yang lebih kecil.”

Berkarya di profesi yang didominasi lelaki tak membuat Arvila gentar. “Perempuan memiliki kemampuan komunikasi verbal yang lebih baik sehingga penyampaiannya lebih mudah diterima,” kata Arvila tentang pekerjaannya. Selain itu, profesi ini banyak membawanya ke tempat-tempat asing di penjuru negeri.

Arvila menikmati setiap perjalanan itu. Namun, tentu saja, sebagai istri dan ibu dua putra, ada masanya ketika dia tak ingin jauh dari keluarga. Terutama ketika anak-anaknya baru lahir dan masih menyusui.

Kadang-kadang, ini disiasatinya dengan mengajak anaknya ke lokasi proyek—tentu dengan sistem pendukung yang kuat. “Pernah ketika usia anak saya dua tahun lebih, dia ikut saya ke mana pun. Sampai ke Papua juga ikut,” katanya.

Arvila tak menampik bahwa profesinya memiliki jam kerja yang panjang dan kebutuhan meninggalkan rumah dalam waktu lama. Kondisi ini menyebabkan jumlah insinyur Teknik Sipil perempuan tidak banyak. “Di angkatan saya saja tinggal dua orang yang konsisten di profesi ini.”

Karena itu sebagai pimpinan perusahaan, Arvila memberikan keleluasaan kerja bagi insinyur perempuan dalam kondisi tertentu. Misalnya, diperbolehkan tidak keluar kota ketika memiliki bayi, atau sedang tidak ada pengasuh anak.

“Saya sangat paham jika di beberapa tempat, insinyur perempuan tidak bisa berkembang,” katanya. Akan tetapi, hal ini bisa disiasati jika perempuan memiliki posisi tawar yang baik. “Mereka akan memberikan keleluasaan jika membutuhkan Anda,” katanya.

Sama seperti jembatan lengkung bentang panjang LRT Jabodebek: semakin panjang bentangnya dan semakin kecil radiusnya, kompleksitasnya semakin tinggi. Akibatnya, gerbong LRT harus menyesuaikan kecepatan yang tadinya 80 kilometer per jam menjadi 20 kilometer per jam. Jembatan lengkung tanpa penyangga itu bisa terbangun dan berfungsi.

Keilmuan Teknik Sipil, kata dia, tetap membutuhkan perempuan yang bisa bekerja sebagai perempuan. Dukungan untuk perempuan tetap bekerja mutlak dibutuhkan. Namun sebagai insinyur, perempuan juga harus mampu memberikan kinerja dan performa terbaiknya.