Satu dari sedikit perempuan yang berkarier di bidang peranti lunak, Fransiska mengembangkan sejumlah startup. Kini, ia salah satu dari “tim bayangan” transformasi pendidikan di Indonesia.

FENOMENA “ember bocor” merupakan keniscayaan di Jurusan Teknik Informatika. Setidaknya untuk saat ini. Jumlah mahasiswa dan alumni perempuan di Jurusan ini tak banyak.

Lebih sedikit pula yang melanjutkan karier sebagai ahli peranti lunak atau pemimpin teknologi. Fenomena ini tidak hanya terjadi di ITB atau Indonesia, tetapi global. Data dari AAUW, organisasi nirlaba pemberdayaan perempuan di Amerika Serikat, menunjukkan hanya 12% perempuan di dunia yang bekerja di bidang ini.

Fransiska Hadiwidjana (IF ’08) adalah pengecualian. Pada 2018, Forbes menempatkan dia sebagai salah satu dari 30 Under 30 Asia. Saat itu, dia terlibat dalam pendirian AugMi Labs, perusahaan perintis yang memproduksi sarung tangan medis Glove Tricorder di Silicon Valley. Sarung tangan medis itu mempermudah pemeriksaan pasien. Dia juga merintis Prelo, platform jual beli barang bekas yang dijamin keasliannya. Prelo diakuisisi Bukalapak lima tahun lalu.

“Saya ingin pengembangan perangkat lunak bermanfaat bagi masyarakat. Itu selalu menjadi tujuan saya,” kata Fransiska kepada Alumnia, pada pertengahan Mei lalu. Fransiska kini memimpin bidang teknologi di GovTechEdu, sebuah “tim bayangan” transformasi pendidikan di Indonesia.

GovTechEdu berdiri pada 2020 dan bekerja langsung untuk pemerintah, khususnya Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi. Secara hukum, mereka merupakan bagian dari Metranet—anak perusahaan Telkom. Pada 2022, organisasi ini telah merilis lima produk untuk membangun ekosistem pendidikan berdasar teknologi, yaitu Merdeka Mengajar, ARKAS dan SIPLah, Kampus Merdeka, Rapor Pendidikan, dan Belajar.id.

“Saya bergabung karena ingin memberi dampak. Saya ingin berkontribusi,” kata Fransiska. Keterlibatannya dalam organisasi ini atas rekomendasi dari senior-seniornya di ITB. Salah satu tantangan mengembangkan aplikasi pendidikan, kata dia, adalah konektivitas jaringan internet. “Karena penggunanya bukan hanya mereka yang di kota, tetapi guru-guru di daerah 3T (tertinggal, terdepan, terluar),” katanya. “Mereka harus dapat mengakses fitur aplikasi, ukuran file tak boleh besar,” katanya.

Ketertarikan Fransiska pada teknologi informatika bermula dari hobi bermain gim The Sims. “Saya penasaran bagaimana cara membuatnya,” kata Fransiska. Dia mengenal coding saat ikut kelas pemrograman saat SMA. Meski tumbuh besar di Surabaya, Fransiska ingin masuk ITB sejak kecil. “Banyak saudara kuliah di sana,” katanya. Selain itu, kakek Fransiska adalah Soedjana Sapi’ie, Guru Besar Emeri-tus Departemen Teknik Elektro yang pernah menjadi rektor ITB (1978).

Saat kuliah di ITB, Fransiska mengasah keterampilannya dengan mengikuti program musim panas di Silicon Valley dan magang hingga empat kali, yaitu di perusahaan migas, perusahaan perintis, perusahaan teknologi besar dan pemerintahan. Fransiska juga turut mengembangkan aplikasi LAPOR, yaitu Layanan Aspirasi dan Pengaduan Online Rakyat, saat magang di Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4). Aplikasi itu masih aktif digunakan hingga hari ini sebagai sistem pengelolaan pengaduan berbasis media sosial.

Ia juga aktif mengikuti unit taekwondo, panahan hingga sepak bola saat kuliah. “Berbagai olahraga yang saya lakukan sangat baik untuk kesehatan dan mood saya,” katanya. Ketika masuk ke dunia kerja, Fransiska tetap aktif berolahraga, terutama untuk mengimbangi aktivitas kerjanya yang banyak duduk dalam jangka panjang di depan layar komputer.

Ketika melanjutkan pendidikan S2, dia menemukan tenis sebagai olahraga barunya. Pada 2021, Fransiska kuliah magister di Stanford University dengan beasiswa LPDP. Perkembangan teknologi kecerdasan buatan (AI) menjadi sorotan di Amerika Serikat. “Banyak pekerja di Amerika Serikat digantikan dengan AI,” katanya.

Fransiska menyebut bahwa perkembangan kecerdasan buatan laksana pisau bermata dua: bisa membantu dan memudahkan pekerjaan manusia, tetapi di sisi lain bisa menggantikan pekerjaan manusia. “Yang sedang didorong adalah bagaimana mereka yang pekerjaannya digantikan AI, dapat menjadi trainer AI model,” katanya.

Sebagai perempuan di dunia teknologi informatika, Fransiska menyadari sedikitnya jumlah mentor perempuan dalam industri ini. “Saya merasa sangat penting untuk memiliki mentor yang dapat memahami dan berhubungan dengan pengalaman hidup kita sebagai perempuan,” katanya. Hal itulah yang mendorongnya sepakat mendirikan WomenWorks bersama kawannya pada 2019.

WomenWorks adalah sebuah plaftorm daring yang memiliki visi memberdayakan perempuan dalam dunia kerja. “Kami ingin perempuan-perempuan yang tangguh dan mandiri secara finansial bisa menginspirasi dan menjadi panutan bagi perempuan lain,” kata Fransiska.

Mentorship merupakan produk pertama platform ini yang ditujukan kepada perempuan yang ingin masuk ke dunia kerja, atau kembali ke dunia kerja setelah career break.

Mentor dalam platform ini berasal dari berbagai bidang. Platform yang mengandalkan jejaring ini bisa diakses dengan berlangganan.

Kini jejaring makin luas, lebih dari 300 perempuan telah menjadi mentor untuk berbagai bidang. Namun, mentor teknologi informatika untuk kepemimpinan teknik dalam platform itu masih Fransiska seorang.

Berdasarkan data dari kantor kealumnian ITB, jumlah alumni perempuan program sarjana di Teknik Informatika selama 2010-2019 cenderung naik turun, meski mengalami tren kenaikan tipis. Pada 2019, persentase alumni perempuan dari Jurusan Teknik Informatika sebesar 30,93%. Persentase ini merupakan yang tertinggi dari jurusan yang bernaung di bawah Sekolah Tinggi Elektro dan Informatika ITB.

Fransiska optimistis bahwa peran perempuan dalam teknologi informasi akan bertumbuh. Bidang pekerjaan ini pada dasarnya memiliki fleksibilitas waktu dan tempat

bekerja. Oleh karena itu, menjadi pilihan yang tepat untuk perempuan yang ingin memainkan banyak peran. “Saya yakin kepemimpinan perempuan di industri ini akan bertambah. Ini hanya masalah waktu,” katanya.