Bertahun-tahun dia menghadapi tantangan bisnis BUMN Farmasi. Efisiensi pascapandemi menjadi tantangan Plt. Direktur Utama PT. Phapros Tbk ini berikutnya.

NANTI saya buatkan obat buat Mbah.” Ida Rahmi Kurniasih (FA ’93) masih mengingat perkataannya pada akhir 1980-an, ketika menemani neneknya yang hipertensi ke dokter. Entah karena ucapan itu atau memang takdir, Ida yang memulai kariernya dari bawah, kini duduk di kursi jajaran elit perusahaan obat nasional.

Pada triwulan pertama tahun ini, Ida yang baru 20 bulan menjabat sebagai Direktur Produksi PT Phapros Tbk, diminta menjadi Pelaksana Tugas Direktur Utama. Pekerjaan terbesarnya adalah restrukturisasi organisasi untuk memperbaiki kinerja Phapros. “Memimpin tidak ringan, tapi juga tidak tak tertanggungkan,” ujar Ida saat ditemui Alumnia di rumah dinasnya di daerah Mampang Prapatan, Jakarta Selatan (9/5/2024).

Rekam jejak Ida mungkin menjadi pertimbangan para pemegang saham. Sebelumnya, Ida adalah Direktur Uta-ma PT Sinkona Indonesia Lestari (SIL) yang 51% sahamnya dimiliki PT Kimia Farma Tbk. Tantangannya waktu itu adalah meningkatkan penjualan kina dari perusahaan itu.

Di bawah kepemimpinannya, Ida mendorong SIL agar memperoleh Certification of Suitability (CEP), sertifikat yang dirilis oleh Direktorat Mutu Obat Eropa untuk me-nyatakan kepatuhan suatu bahan farmasi. Sertifikasi itu mendongkrak penjualan SIL yang sebagian besar produk-nya diekspor.

Pangsa ekspor kina juga dikembangkan.Tidak hanya untuk perusahaan obat, tetapi juga perusahaan minuman. “Kina itu bisa menjadi pemahit alami,” kata Ida. Merek Schweppes merupakan salah satu dari produk minuman yang menggunakan kina sebagai bahan bakunya.

Usaha itu akhirnya membuahkan hasil. SIL tumbuh menjadi produsen kina terbesar global. “Penjualan 68 ton naik sampai 123 ton. Omset Rp 86 miliar tumbuh sampai Rp 265 miliar. Tadinya hanya memiliki laba dalam jumlah kecil menjadi laba Rp 13,3 miliar,” kata Ida.

Ida juga menginisiasi diversifikasi usaha di bidang retail dengan menyasar produk perawatan tubuh yang berbahan utama minyak atsiri. “Pada masa pandemi, omset dari minyak atsiri mencapai lebih dari Rp 50 miliar,” katanya.

Penugasan ke Phapros membuat Ida yang lama malang melintang dalam perdagangan internasional kembali ke dunia farmasi. “Dulu saya enggak banyak berurusan dengan NIE (Nomor Izin Edar). Phapros membuat saya belajar lagi. Di Kimia Farma, saya tak pernah terekspos dengan produksi sediaan steril seperti injeksi,” katanya.

Ida memulai kariernya dari pegawai magang di Kimia Farma bidang administrasi. Kemampuannya berbahasa inggris membuat dia dilibatkan dalam berbagai negosiasi dengan perusahaan asing. Mulanya sebagai notulen, trans-lator hingga menjadi perwakilan perusahaan untuk komunikasi dengan pihak asing. kariernya terus naik hingga akhirnya ditugaskan sebagai pimpinan SIL dan kemudian pimpinan Phapros.

“Keimanan, doa dan dukungan Ibu, suami, anak-anak adalah sumber kekuatan saya,” ujar ibu tiga anak ini. Suami-nya yang berlatar belakang pebisnis mendukung karier Ida. Termasuk ketika kini, hidup Ida terikat di tiga kota: rumah-nya di Bandung, kantor pusat Phapros di Jakarta, dan pabrik obat di Semarang.

Tetapi untuk putra bungsunya yang masih duduk di bangku sekolah dasar, Ida harus memberikan pengertian. “Ada hari kerja di mana anak sangat memerlukan kehadiran kita, maka harus mantap untuk hadir demi anak. Saat tugas kantor tak bisa diwakilkan, kita harus menjelaskan ke keluar-ga mengapa ini penting,” ujarnya.

Era digital, kata dia, memang disruptif. Pekerjaan bisa datang kapan saja. “Tetapi ada fleksibilitas dan mobilitas,” katanya. “Tak bertemu tapi masih bisa video call baik dengan kantor maupun keluarga.”

Ida juga memasang kamera dan lampu penerangan yang mampu menjangkau seluruh area pabrik. “Banyak karyawan perempuan yang bekerja dengan sistem shift siang-malam,” katanya. Kebijakan yang tengah didorong oleh Ida adalah penyediaan fasilitas daycare tak jauh dari pabrik.

Ida lahir dari ayah petani dan pemilik lahan yang sempat kuliah di Universitas Gadjah Mada. Ibunya seorang guru madrasah tsanawiyah. Keduanya merupakan sosok terpelajar. Ida selalu mengenang ayahnya sebagai sosok religius yang selalu menulis di atas meja kerjanya. Sang ibu merupakan sosok yang disiplin, bertanggung jawab, dan penyabar.

Dari keduanya, Ida belajar ketekunan, daya tahan dan keimanan. Dari kuliahnya di Farmasi, Ida belajar ketelitian. Sementara, kemampuan negosiasi ia pelajari dari pengalaman bernegosiasi di Kimia Farma dan kemampuan memimpin serta mengembangkan perusahaan ia dapat dari SIL. Pelajaran-pelajaran inilah yang menjadi modalnya untuk mengatasi tantangan perusahaan farmasi pasca COVID-19.

Selama Pandemi COVID-19, semua perusahaan farma-si mengalami pertumbuhan. Tetapi pertumbuhan itu juga diiringi dengan kian bertambahnya beban operasional. Ida menyadari kondisi ini dan telah menyiapkan sejumlah stra-tegi untuk menghadapi tantangan pascapandemi. Salah satunya efisiensi dan restrukturisasi organisasi.

Di kantornya, Ida termasuk pimpinan yang memperha-tikan hak-hak pekerja perempuan. Dia menghapus pasal Perjanjian Kerja Bersama (PKB) SIL yang bias gender. Dalam aturan lama, tanggungan kesehatan hanya diberikan kepada keluarga pegawai laki-laki, dengan asumsi pegawai wanita ditanggung suaminya. “Aturan ini tak adil karena tidak se-mua pegawai laki-laki bekerja di perusahaan yang memiliki asuransi kesehatan,” kata Ida.