MENJADI yang pertama agaknya suratan takdir yang tertulis untuk Profesor Premana W. Premadi (AS ’83). Dia adalah perempuan Indonesia pertama yang meraih gelar doktor di bidang Astrofisika. Dia menjadi perempuan pertama yang menjabat Direktur Observatorium Bosscha. 

Dia pula perempuan Indonesia pertama yang nama-nya diabadikan menjadi asteroid 12937 Premadi. Perjalanannya dalam keilmuan astronomi berawal dari ketertarikannya terhadap sains dan rasa ingin tahu terhadap cara kerja alam semesta. “Astronomi memberikan nuansa yang lain, tapi untuk berkarier di bidang ini, ada serangkaian faktor keberuntungan dan dorongan dari lingkungan sekitar,” kata Premana kepada Alumnia, awal Mei lalu.

Premana mendapat tawaran untuk menjadi dosen ITB sebelum lulus. Ia lalu mengambil kesempatan belajar kosmologi ke Amerika Serikat dan melanjutkan pendidikan pascadoktoral ke Jepang. Selama belajar di University of Texas di Austin, Premana ditantang untuk belajar dan bekerja di Center of Relativity dengan orang-orang yang pintar dari penjuru dunia. “Untuk bisa bukan hanya bertahan, tapi ikut ada dalam sistem secara kontributif, itu kerja keras yang luar biasa.” Pada saat itu, jumlah perempuan terutama dari Asia sangat sedikit. “Jika saya gagal, saya bukan gagal pribadi. saya gagal sebagai orang Asia, sebagai perempuan,” katanya.

Di tempat itu pula, Premana mendapatkan teman sekaligus mentor dari Profesor Cécile DeWitt-Morette, pionir Fisika dan Matematika yang pernah bekerja dengan Albert Einstein dan Richard Feynman. Di Austin saat itu, hanya 10% dari perempuan yang belajar Fisika teoritis. Di Jepang, lebih ekstrem lagi. Hanya ada dirinya dan seorang staf perempuan yang ada di fasili-

tas astronomi itu. Di Indonesia, kata dia, proporsi perempuan yang belajar sains justru lebih besar. Tantangannya justru ketika berkarier.

“Saya kurang tahu mengapa ketika sudah berkarier, perempuan lebih banyak hambatan,” katanya. Premana menduga tantangan itu terletak pada pembagian peran usai berkeluarga. Ia

mengatasi hal itu dengan komunikasi. Peluang kerja di bidang astronomi, menurut dia, sebenarnya beragam. Mulai dari teori, komputasi hingga observasi.

Premana sempat memimpin Observatorium Bosscha. Saat pandemi, Bosscha menjadi pionir pendidikan daring, dengan membuat program pengamatan langit melalui aplikasi Zoom. Pesertanya guru-guru dari Aceh hingga Papua.

“Jadi kamera teleskop, kami tampilkan ke aplikasi,” katanya. Program itu juga diselingi cerita dan tanya jawab. “Benar-benar menyenangkan.”

Premana memang memiliki perhatian terhadap pendidikan sains anak. Dia telah menggelar sejumlah pelatihan dengan guru-guru sains lewat proyek Universe Awareness for Children (UNAWE) Indonesia. “Anak-anak memiliki rasa ingin tahu yang besar. Agar mereka senang belajar, guru-guru perlu dibantu dengan bahan ajar dan strategi menyampaikan,” katanya.

Premana menekankan pentingnya kemampuan berpikir rasional dan logis. Dalam pendidikan anak-anak, ia berusaha membangun kemampuan berpikir ini. Dia menilai pendidikan Indonesia belum siap menghadapi tantangan era modern.

Ia mencontohkan bahwa kemampuan berhitung anak bisa dipicu dengan tugas sederhana, seperti perhitungan pmakaian listrik dan tagihan listrik. “Anak-anak kemudian belajar berhitung dan berhemat listrik,” katanya.

Astronomi, kata dia, dapat menjadi gerbang ketertarikan kepada sains bagi anak-anak. “Cerita lubang hitam bisa jadi jalan ke matematika terutama untuk anak usia SMP,” katanya. Kiprahnya dalam mempromosikan astronomi sebagai sarana pendidikan membawa Premana meraih penghargaan honorary fellowship dari Royal Astronomical Society pada 2023.

Antusiasme Premana di bidang pendidikan sains mungkin tertanam dari pengalaman hidupnya. Premana tertarik mempelajari sains berkat guru fisikanya, seorang suster katolik di SMA Tarakanita Jakarta. “Beliau bisa menjelaskan sesuatu dengan sangat gamblang. Buat saya bukan hanya menginspirasi Fisika, tapi menginspirasi dari sisi cara mengajarnya yang antusias,” katanya.

Antusiasme belajar itu bisa jadi merupakan doa yang terkandung dalam namanya. Nama Premana berasal dari bahasa Sansekerta yang berarti orang yang paling baik belajar. Sementara Premadi merupakan alternatif dari Permadi, nama yang merujuk pada Arjuna, pemanah ulung dalam epos Mahabarata. Dalam kariernya sebagai peneliti dan pengajar, Premana menghadapi tantangan yang sama dengan peneliti lainnya—bidang penelitian yang terus maju dan terdiversifikasi. Di tahun 90-an, ia bisa mengklaim dirinya sebagai ahli dalam kosmologi fisik skala besar. Kini, bidang itu

berkembang menjadi lebih luas dan kompleks. “Jadi, untuk bisa meneliti terus, peneliti harus punya bidang yang dia fokuskan, untuk tetap menjadi ahli. Sementara sebagai pendidik, harus general.”

Di era big data, peneliti juga harus mengikuti perkembangan teknologi dan bahasa pemrograman untuk mengejar sains modern. “Kalau mau pakai data dari teleskop Hubble atau James Webb, sekarang berbeda, sehingga perlu kerja sama dengan mahasiswa S2 dan S3. Tidak bisa semuanya sendiri,” kata Guru Besar ITB untuk bidang Evolusi Struktur Kosmologis ini.

Meskipun telah mencapai banyak hal, ketua peneliti tim pengkajian Observatorium Timau ini merendah. Premana merasa belum merasa meraih pencapaian tertentu dalam kariernya. Baginya, pencapaian sejati adalah kemampuan untuk menghasilkan karya yang diakui dan digunakan oleh banyak orang, menginspirasi mahasiswa untuk belajar, dan memberikan kontribusi yang berkelanjutan kepada masyarakat.