Penyebab Punahnya Pari Jawa
Pari Jawa (Urolophus javanicus) dinyatakan punah. Butuh 150 tahun untuk membuktikannya.
INTERNATIONAL Union for Conservation of Nature (IUCN) menyampaikan berita meresahkan itu dalam kon-ferensi iklim COP 28 di Dubai, Uni Emirat Arab pada awal Desember lalu: Pari Jawa (Urolophus javanicus) dinyatakan punah. Bersamaan dengan itu, IUCN merilis pembaruan daftar merah spesies terancam punah.
Sejak pencatatan tahun 1964, keanekaragaman hayati terus menyusut. Di dalam daftar merah terbaru, tercatat lebih dari 44 ribu spesies global terancam punah. Termasuk 41% amfibi, 37% hiu dan pari, 36% karang pembentuk terumbu, 34% tumbuhan runjung, 26% mamalia dan 12% burung.
Sebelum Pari Jawa dinyatakan punah, IUCN pernah melakukan asesmen terhadap spesies ini pada 2006 dan 2021. Pada saat itu, spesies ini telah masuk kategori kritis. Deklarasi kepunahan spesies ini disampaikan usai penilaian ekstensif oleh Julia Constance dan timnya dari Universitas Charles Darwin (CDU) di Australia.
Constance dan timnya melakukan penelitian menggunakan model ancaman serta model catatan dan survei. Dua model penelitian itu menghasilkan skor yang identik, sebesar >0,9. Skor tersebut memenuhi ambang batas kepunahan spesies.
Faktanya, hampir tak ada yang pernah melihat Pari Jawa selama lebih dari 100 tahun terakhir. Satu-satunya spesies Pari Jawa yang dikenal ilmu pengetahuan modern adalah holotipe yang dikoleksi pada abad ke-19 dan lama tersim-pan di Museum für Naturkunde, Berlin.
Spesimen itu betina, berukuran kecil, panjang totalnya 33,8 cm. Spesimen ini memiliki sirip dada berbentuk lonjong, dan ekor dengan sirip punggung di depan tulang penyengat, serta sirip ekor. Bagian atas spesimen ini berwarna cokelat dengan bintik-bintik gelap maupun terang.
Pada Juli 1862, Eduard von Martens, seorang naturalis asal Jerman dalam ekspedisinya ke timur jauh, singgah ke Batavia, Hindia Belanda. Dia membeli Pari Jawa dari pasar ikan Jakarta dan menjadikannya spesimen. Jika mengukur kemampuan kapal penangkap ikan pada abad 19, peneliti memperkirakan holotipe tersebut dikumpulkan dalam jarak 40 kilometer dari garis pantai Jakarta. Kemungkinan besar pada saat von Martens mengambil sampel, spesies itu sudah langka.
“Asumsi penyebab kepunahan adalah faktor antropogenik (aktivitas manusia),” kata Fahmi, salah satu asesor IUCN untuk Pari Jawa, kepada Alumnia, pada akhir Desember lalu.
“Aktivitas penangkapan yang berlebihan berkontribusi terhadap kepunahan Pari Jawa,” katanya melanjutkan. Ikan Pari banyak dieksploitasi dan dikonsumsi masyarakat Indonesia. Sebanyak 60% tangkapan elasmobranch (ikan bertulang rawan) nasional adalah pari.
“Hingga awal 1980-an, aktivitas penangkapan ikan di Teluk Jakarta masih menggunakan trawl (pukat harimau),” kata Fahmi. Pukat harimau memiliki lubang yang sangat kecil dan menyapu dasar laut. Jenis jaring ini mampu menangkap segala jenis ikan, termasuk ikan kecil yang belum memasuki fase reproduksi.
Hal ini menjadi tekanan bagi Pari yang memiliki sifat bio-logi rawan punah. Penangkapan berlebihan menyebabkan hanya sedikit Pari yang bisa berumur panjang. Padahal di antara ikan bertulang rawan, genus Urolophus memiliki fekunditas terendah, “sekitar 1-2 anakan per tahun,” kata Fahmi. Sehingga spesies ini sangat rentan terhadap pengurangan dan penipisan populasi. “Spesies ini baru siap kawin setelah usianya puluhan tahun.”
Adanya aktivitas penangkapan berlebihan di Teluk Jakarta juga bisa dibuktikan dari hasil tangkapan ikan di Pantai Utara Jawa. Hasil tangkapan pada 1940 menyusut hingga hampir setengah dari tangkapan tahunan pada 1860an.
Pesisir utara Jawa, khususnya Teluk Jakarta, kini meru-pakan kawasan industri yang berkembang pesat. Degradasi habitat kemungkinan berdampak pada spesies ini. “Urolophus sangat rentan, bukan jenis yang kuat terhadap perubahan lingkungan,” kata Fahmi. Habitat pesisir tempat hidup Pari Jawa bersalin rupa menjadi kolam budi daya pada awal abad 20.
Teluk Jakarta merupakan muara 10 sungai, “bentuknya seperti mangkok, menampung segala polutan dari hulu hingga hilir,” kata Diah Radini Noerdjito (BI ‘98, BI ’03, BI ‘13), peneliti biologi kelautan BRIN. Tingginya kadar polutan menyebabkan air di teluk Jakarta keruh.
“Keruh berarti material yang larut dalam air tinggi, se-hingga penetrasi cahaya matahari terhambat.” Akibatnya, aktivitas fotosintesis terumbu karang juga terhambat. Ini akan memberikan tekanan pada spesies lain dalam piramida makanan, termasuk pari yang hidup di dasar laut.
Pari Jawa diduga spesies endemik, hewan yang hidup di satu kawasan saja. Selain Pari Jawa, Indonesia juga memiliki spesies pari endemik lain dengan genus yang sama, yaitu Pari Kei (Urolopus Kaianus). IUCN belum menentukan status spesies ini karena kurangnya data.
Ada dua spesimen Pari Kei yang dikumpulkan pada 1874 dari lepas Kepulauan Kei. Sama seperti Pari Jawa, belum ada lagi catatan penampakan tentang Pari Kei setelahnya. Namun, Fahmi memperkirakan nasib Pari Kei lebih baik ketimbang Pari Jawa. “Spesimen dikumpulkan dari kedalaman 236 meter, bukan diambil dari pasar ikan,” kata-nya. Mungkin saja, kata dia, Pari Kei hanya tersembunyi dan belum terlihat.
Kasus Pari Jawa menunjukkan spesies bisa saja punah tanpa dikenali secara ilmiah. Sebelum berita ini mencuat, tak banyak yang mengetahui eksistensi Pari Jawa. Jika von Martens tidak membeli Pari Jawa 1,5 abad lalu, mungkin sains modern juga tidak pernah tahu keberadaannya.
Radini sepakat, “setiap tahun, ada spesies yang baru di-kenali dan mendapat nama ilmiah.” Sejak Januari hingga September 2023, misalnya, Pusat Biosistematika dan Evolusi mencatat ada 23 spesies baru di Indonesia. Ada banyak spesies yang belum dikenali dan saat ini eksploitasi manusia terhadap lingkungan sangat tinggi. Sehingga, “bisa jadi ada spesies yang belum tercatat tetapi sudah punah lebih dulu,” kata Radini.
Kepunahan telah jadi bagian dari proses seleksi alam. Selama 4,5 miliar usia Bumi, setidaknya sudah lima kali kepunahan massal terjadi secara alamiah. Menurut Elizabeth Kolbert dalam bukunya Sixth Extinction (Gramedia, 2020), Bumi saat ini mengalami fase kepunahan massal keenam. Berbeda dengan sebelumnya, kepunahan massal keenam murni disebabkan oleh faktor antropogenik.
Aktivitas penangkapan ikan besar-besaran adalah salah satunya. Studi yang dipublikasikan pada Jurnal Nature pada 2021 menyebutkan, populasi hiu dan pari secara global telah menurun sebesar 71% dalam 50 tahun terakhir. Sebagian besar disebabkan oleh penangkapan ikan secara masif.
Ilmu pengetahuan modern membutuhkan 150 tahun untuk menyatakan punahnya Pari Jawa. Kepunahan ini bisa jadi puncak gunung es dari kasus-kasus serupa yang tidak atau belum terkonfirmasi. Fahmi yang juga peneliti BRIN untuk Pusat Oseanografi Nasional mengatakan institusinya memberikan rekomendasi kepada Kementerian Kelautan dan Perikanan untuk mengelola perikanan yang berkelan-jutan.
Perlindungan terhadap spesies laut juga harus dilakukan dengan memperluas kawasan konservasi perairan. Pada 2022, Indonesia menetapkan 28,9 juta hektare kawasan konservasi perairan atau 8,9 persen dari luas perairan di Indonesia. Pada 2030, kawasan ini ditargetkan mencapai 32,5 juta hektar atau 10% dari wilayah laut nasional. Upaya-upaya ini diharapkan dapat melindungi spesies laut dari kepunahan.