Geliat Caleg Meraih Simpati Publik
Sejumlah alumni muda ITB maju menjadi calon legislatif dalam Pemilu 2024. Politik uang masih menjadi isu krusial.
PEMILIHAN Legislatif 2024 bukan pileg pertama yang diikuti Aditya Rizki Pradana (DI ’03). Putra daerah Bangka Selatan ini sudah dua kali mengikuti pileg DPRD provinsi dan satu kali menjadi kandidat bupati di wilayah itu. Namun pada pemilu keempatnya, Aditya menghadapi persoalan sama yang menderanya setiap kali mengikuti pileg: politik uang.
“Tiap kali bertemu pemilih muda, ujung-ujungnya di- mintai amplop,” kata Aditya ketika dihubungi Alumnia a- khir Desember lalu. “Kami ada lima orang, siapkan saja amplopnya, Bang,” kata Aditya menirukan sejumlah pe- milih di wilayahnya.
Bukan sekali dua kali Aditya menolak permintaan itu. “Saya inginnya silaturahmi jangka panjang, bukan beli su- ara tiap lima tahun sekali,” katanya. Aditya mengaku tidak hanya menyapa konstituennya ketika menjelang Pemilu.
Setiap perayaan hari besar Islam maupun nasional, Aditya selalu datang untuk berbincang dengan warga Bangka Selatan, khususnya di kantong suaranya di Tobo- ali. “Saya juga selalu bantu kalau mereka ada masalah ke- pendudukan atau kesehatan misalnya,” katanya
Ayahnya, Justiar Noer adalah mantan Bupati Bangka Selatan dua periode, 2005-2010 dan 2016-2020. Na- mun, Aditya mengaku tidak terlalu paham politik ketika pertama kali mencalonkan diri pada 2013. “Pada saat Ayah menjabat periode pertama, saya masih kuliah.”
Menurut Aditya, tantangan caleg di setiap pemilu ada- lah memberikan pendidikan politik terhadap pemilih. “Ca- leg dan timnya harus turun dan bergerak door to door. Minimal 2-3 kali bertemu warga,” kata Aditya.
Pada 2013, Aditya mengantongi cukup suara untuk diangkat menjadi anggota DPRD Bangka Belitong. Teta- pi batal, karena suara partainya saat itu (PAN) tidak cu- kup untuk mendapatkan bahkan satu kursi. Dia maju lagi pada 2018, kali ini dari Partai Demokrat. Aditya mengan- tongi 7.600 suara dan dilantik menjadi anggota DPRD Bangka Belitong.
Tapi pada 2020, dia mundur untuk mencalonkan diri sebagai Bupati Bangka Selatan. Dia maju lewat Partai Nasdem sebab, “tidak ada mahar politik,” katanya. Sepe- kan sebelum hari pencoblosan, Aditya mendapatkan in- formasi adanya politik uang dari kubu lawan. Entah benar atau tidak, yang jelas dia kalah suara.
Tahun lalu, Badan Pengawas Pemilu mengumumkan 20 kabupaten/kota tertinggi yang rawan politik uang. Aditya tak heran ketika daftar itu menempatkan Kabupa- ten Bangka Selatan di peringkat 18. Toh, dia tak gentar.
Tahun ini, dia kembali mencalonkan diri. Kali ini dari Partai Golkar. Aditya banyak bertemu dengan masyara- kat kelompok usia 40 tahun ke atas. “Pada dasarnya, mereka lebih melek politik,” kata Aditya. Selain itu, kelompok ini juga merupakan konstituennya sejak lama. Tetapi, pemilih muda juga tetap dia temui. “Pendidikan politik tetap harus dilakukan.”
Menurut Aditya, DPRD Bangka Belitong perlu men- dorong peraturan daerah yang bisa mempercepat per- tumbuhan ekonomi. “Bangka memiliki Timah, Sahang— lada putih paling pedas di dunia, dan industri perikanan,” katanya.
Di Kabupaten Brebes, Elshanti Nabiihah Salma (SBM ’22) juga menghadapi problematika yang mirip. Caleg DPRD Kabupaten Brebes, 23 tahun dari PDI Perjuangan itu kerap ditanya berapa isi amplopnya tiap kali bertemu masyarakat. Elshanti tidak memberikan jawaban yang pasti. “Saya tidak ingin mereka berharap, tapi saya juga tidak ingin mereka kecewa,” kata Elshanti.
Elshanti lahir dan besar di kabupaten tempat dia men- calonkan diri. Ibunya, Idza Priyanti adalah Bupati Brebes dua periode 2012-2022. Sejak SMP, Elshanti sudah akrab dengan aktivitas politik sang ibu. Berhadapan dengan ma- syarakat bukan hal yang baru, Elshanti aktif di karang ta- runa dan komunitas fotografi setempat.
Terinspirasi dari sang ibu, dia mulai tergugah untuk terjun ke politik. Sejak dua tahun lalu, Elshanti sudah mendekati warga dapil 6, Kecamatan Wanasari dan Ke- camatan Bulukamba. Dia dan timnya datang dari rumah ke rumah dan mendengarkan aspirasi mereka. “Banyak yang bilang ini dapil neraka. Ibaratnya kalau masuk sini harus babat alas,” kata Elshanti. Selain itu, dapil ini sejak lama merupakan kantong suara PKB.
Menurut Elshanti, dua kecamatan ini merupakan wilayah dengan tingkat stunting tertinggi di Kabupaten Brebes. Selain itu, kesejahteraan penduduknya terbilang rendah. “Hampir 80% pekerjaan warga adalah petani paruh waktu,” katanya. Persoalan pengangguran yang tinggi dan rendahnya tingkat pendidikan di wilayah itu juga menjadi catatan Elshanti.
Sama seperti persoalan di Bangka Selatan, penduduk di dua kecamatan ini tak paham politik. “Dalam kaca mata mereka, lima tahun sekali mereka akan dapat uang,” kata- nya. Elshanti dan timnya memberikan edukasi politik, “te- tapi, mengubah pola pikir itu susah sekali,” katanya.
Menjadi perempuan muda di dunia politik juga bukan hal yang mudah. “Setahun pertama, mental saya diuji,” kata Elshanti. Sosok ibunya sebagai panutan dan dukung- an penuh dari keluarga, teman dan timnya membuat Elshanti kini lebih tangguh.
Andhika Gumilang (TA ’02) punya cerita yang berbe- da. Bagi Pria kelahiran Aceh, yang mencalonkan diri se- bagai anggota legislatif untuk Jawa Barat, tak sulit bagi- nya merangkul masyarakat meski bukan putra daerah. “Sering bertemu saja untuk mengobrol,” kata Andhika yang maju dari dapil 11 yang meliputi Kabupaten Su- bang, Kabupaten Majalengka dan Kabupaten Sumedang.
Menurut dia, lebih sulit berkomunikasi dengan ma- syarakat ketika dia membuka penambangan pasir batu empat tahun lalu, ketimbang meraih dukungan untuk pe- milu. “Mungkin karena sekarang mereka sudah kenal jadi lebih welcome,” kata Andhika.
Andhika sempat kesulitan mendekati penduduk keti- ka meminta izin pembukaan tambang. “Barulah setelah beberapa kali bertemu, mereka memberi izin dan perca- ya,” kata Andhika. Mereka hanya meminta dibantu untuk pemeriksaan kesehatan berkala.
Soal politik uang, Andhika hanya menyebut tidak ada jual beli suara. “Saya melihat ada kesempatan untuk me- lakukan sesuatu yang lebih untuk masyarakat sekitar,” katanya. Andhika juga mengaku tak memiliki tim sukses. Karyawannya di penambangan pasir batu yang tak sam- pai 20 orang, kata dia, sukarela membantunya.
Politik uang selalu jadi bayang-bayang Pemilu. Tetapi baik Aditya, Elshinta maupun Andhika yang diwawancara terpisah mengungkapkan bahwa politik hanya jalan un- tuk memperjuangkan masyarakat agar hidup lebih baik dan lebih sejahtera.