AIR, sudah lama menjadi masalah mendasar penduduk Jakarta. Meski provinsi ini dialiri 13 sungai besar, tingkat pencemaran yang tinggi membuat air sungai sulit untuk diolah. Sumber air baku utama Jakarta saat ini berasal dari waduk Jatiluhur yang diolah di 13 instalasi pengolahan air minum (IPA) sebelum dialirkan ke rumah-rumah warga. Selama 25 tahun, pengelolaan air di Jakarta dilakukan oleh swasta dengan Aetra di wilayah timur dan Palyja di wi-layah barat. Selama dua setengah dekade, cakupan pelaya-nan air minum di Jakarta baru mencapai 65,8%. Berakhirnya swastanisasi air di Jakarta pada tahun lalu, menjadi tanta-ngan baru bagi untuk dapat memenuhi kebutuhan air bersih penduduk.

Direktur Teknik , Untung Suryadi (TM ’90), ber-bagi cerita soal pengelolaan air di megapolitan ini kepada tim Alumnia, pada April lalu. Berikut ini petikannya:

T : Setelah setahun pengelolaan air kembali ke tangan PAM Jaya, apakah cakupan pelayanan sudah bertambah?
J : Iya, saat ini PAM Jaya baru melayani sekitar 67% dari cakupan layanan yang harus dipenuhi, yang ditargetkan menjadi 100% pada tahun 2030. Saat ini, sekitar 6 hingga 7 juta jiwa yang kami layani dari total populasi Jakarta yang sekitar 11 juta jiwa. Jadi, masih ada 33% lagi yang harus kami capai.

T : Bagaimana cara PAM Jaya meningkatkan cakupan pelayanan?
J: Saat ini, PAM Jaya sedang dalam periode pembangunan infrastruktur untuk meningkatkan cakupan pelayanan. Saat ini, panjang pipa yang kami operasikan adalah sekitar 12.500 km. Nantinya, untuk mencapai cakupan penuh, kami akan menambah sekitar 7.000 km pipa lagi hingga tahun 2030. Biayanya kurang lebih sekitar Rp 238 triliun.

T: Bagaimana cara PAM Jaya meningkatkan kapasitas produksi?
J: Saat ini kapasitas produksi PAM Jaya 20.750 liter per detik. Artinya, dalam sehari kami memproduksi sekitar 2 juta meter kubik air. Sebagai perbandingan, volume Situ Gintung adalah 720 ribu meter kubik. Sehingga, dalam sehari kami memproduksi hampir tiga kali lipat dari volume Situ Gintung. Untuk mencapai target cakupan pelayanan 100%, perlu ada tambahan air baku 11.000 liter per detik. Sebanyak 83% sumber air baku PAM Jaya saat ini berasal dari Jatiluhur dan dialirkan melalui saluran Tarum Barat untuk diolah di Instalasi Pengolahan Air Minum sebelum didistribusikan ke rumah-rumah penduduk.

T: Bagaimana PAM Jaya menambah kebutuhan air baku?
J : Kami akan mendapatkan pasokan 4.000 liter per detik dari Jati Luhur. Saat ini infrastrukturnya sedang dibangun di Bekasi. Pipa-pipa tersebut memiliki diameter besar, sekitar 1,2 meter. Kami juga akan mendapatkan pasokan 3.200 liter per detik dari Waduk Karian di Lebak.

T : Bagaimana dengan penggunaan air tanah yang marak dilakukan di Jakarta?
J : Jakarta sedang menuju zona pelarangan total. Beberapa area seperti Kuningan, Sudirman, dan Thamrin sudah masuk zona bebas air tanah dan sudah ada larangannya. Pengawasan ketat sudah dilakukan, termasuk pada hotel-hotel dan industri. Penggunaan air tanah memang dikenakan tarif yang lebih mahal, dan ada tarif retribusi juga. Penggunaan air tanah yang berlebihan oleh sektor komersial atau industri memang berisiko menyebabkan penurunan permukaan tanah (land subsidence). Itu sebabnya cakupan pelayanan harus mencapai 100% agar tidak ada penggunaan air tanah masif.

T: Masalah utama di semua perusahaan air adalah tingginya angka kebocoran air atau NRW. Bagaimana dengan PAM Jaya?

J: Pada 2030, kami menargetkan untuk menurunkan hingga ke level 30%. Pada Desember kemarin, tingkat Non-Revenue Water (NRW) kami sekitar 43%. Dari persentase itu 70% di antaranya merupakan kebocoran fisik, sedangkan 30% adalah kebocoran komersial, seperti pencurian, konsumsi ilegal, koneksi ilegal, dan kondisi meter yang tidak akurat.

T: Bagaimana cara PAM Jaya menekan angka kebocoran air?
J: Kami melakukan penggantian meteran secara rutin lima tahun sekali. Karena penggantian meter air pasti berdampak pada akurasi pembacaan per lima tahun. Kami juga ada tim deteksi kebocoran dan tim perbaikan kebocoran ya.

Setiap hari selalu ada yang patrol mencari daerah-daerah yang dicurigai terjadi kebocoran. Paling penting alat ukurnya, pada saat terjadi anomali, kita harus identifikasi. Kalau di satu titik dapat air, sementara titik lain tidak, apakah ada air hilang. Kami menggunakan deteksi kebocoran, mengikuti teknologi yang berkembang di sektor air dan jaringan utilitas lain seperti gas.

T: Bagaimana teknologi diterapkan dalam menekan NRW?
J: Industri air itu adalah industri distribusi. Kalau di atas itu, kendaraan transportasi mengangkut orang, maka di bawah tanah mengangkut air. Jadi, kami memetakan seluruh jari-ngan dalam GIS (Geographic Information System). Kami mem-punyai sistem untuk memonitor dengan SCADA (Supervisory Control And Data Acquisition). Kami juga menggunakan stan-dar sambungan pemasangan baru yang biasa dipergunakan di jaringan gas. Yaitu, sambungan pipa metode electrofusion. Sehingga kebocoran sambungan pipa air di rumah dapat diminimalisir. Pipa-pipa kami juga dilengkapi dengan tekno-logi pendeteksi kebocoran JD7. Teknologi ini menyematkan kamera khusus dan sensor ke dalam sambungan pipa primer. Sehingga mampu mendeteksi penyumbatan, sambungan lateral dan sambungan illegal. Kamera dengan resolusi tinggi akan merekam segala bentuk kebocoran baik dalam bentuk visual dan audio, walaupun jalan di Jakarta berisik sekali. Untuk perbaikan pipa, kami memerlukan anggaran sekitar Rp 6,5 miliar.

T : Anda sudah puluhan tahun malang melintang di industri air. Boleh diceritakan perjalanan karier Anda.
J: Saya masuk ke industri air di PT Thames PAM Jaya pada 2000. Saya sempat menjadi Direktur Teknik PDAM Tirta Kerta Raharja Tangerang selama 4 tahun, sebelum pindah ke ke PT Aetra Air Tangerang pada 2011. Pada 2016, saya direkomendasikan menjadi Direktur Umum di PAM Jaya dan setelah tahun 2020, saya menjadi Direktur Teknik. Saat ini, saya hampir 4 tahun menjadi Direktur Teknik di PAM Jaya. Tapi setelah masuk ke air itu ternyata tantangannya adalah berinteraksi langsung dengan warga dan mereka merasakan manfaat apa yang kami kerjakan itu, rasanya seperti kepuasan tersendiri.

T: Apa pentingnya akses air bagi masyarakat?
J: Orang yang tidak mendapatkan akses air itu akan mengeluarkan biaya operasional lebih tinggi daripada orang yang mempunyai akses dari layanan PAM Jaya. Mereka bisa berhemat dari pemakaian air itu hampir seperdua belasnya. Ini tabungan buat kesehatan mereka. Apalagi kalau di Jakarta, penurunan stunting itu diawali dengan adanya akses air dan akses sanitasi yang bagus.
J: Orang yang tidak mendapatkan akses air itu akan mengeluarkan biaya operasional lebih tinggi daripada orang yang mempunyai akses dari layanan PAM Jaya. Mereka bisa berhemat dari pemakaian air itu hampir seperdua belasnya. Ini tabungan buat kesehatan mereka. Apalagi kalau di Jakarta, penurunan stunting itu diawali dengan adanya akses air dan akses sanitasi yang bagus.