Transisi perpindahan ibu kota Jakarta ke IKN saat ini tengah berlangsung. Transisi tersebut diprediksi bakal memengaruhi berbagai aspek urban yang berdampak pada kehidupan warga Jakarta. Beberapa diantaranya adalah aspek penataan kota dan interaksinya dengan wilayah sub-urban di sekelilingnya. 

Tema perpindahan ibu kota tersebut dibahas dalam acara diskusi yang berlangsung pada Senin, 3 Juni 2024 pagi di Hoyel Novotel Cikini, Jakarta Pusat. Turut hadir 2 tokoh publik sebagai narasumber, yaitu Gubernur Jawa Barat 2018-2023, Ridwan Kamil dan Wakil Gubernur Jawa Timur 2018-2023, Emil Elestianto Dardak. 

Kehadiran Kang Emil (Ridwan Kamil) dan Mas Emil (Dardak) dalam diskusi ini diharapkan mendorong pertukaran gagasan antar pemerhati perencanaan kota untuk memprediksi bagaimana pengembangan kawasan aglomerasi Jakarta kedepan, pasca status ibukota telah beralih ke IKN.

Bersama mereka, sejumlah pakar lain juga turut hadir, yaitu Fithra Faisal Hastiyadi (Ekonom UI), Andhyta F. Utami (CEO ThinkPolicy) dan Soelaeman Soemawinata (PPI). Diskusi itu diselenggarakan oleh Ikatan Ahli Perencana (IAP) Jakarta, bekerjasama dengan EAROPH Indonesia, Komunitas Mikirin Jakarta dan PII yang bertajuk “Jakarta menuju Kota Global: Tantangan dan Solusi“.

Dalam paparannya, Emil Dardak mengungkapkan seiring waktu terjadi perubahan tren dimana wilayah sub-urban di sekitar Jakarta tumbuh menjadi pusat ekonomi baru yang perlahan menggantikan peran yang sebelumnya dimiliki Jakarta atau disebut sebagai fenomena “Inner City Decline”. Hal ini turut didukung dengan kehadiran jalan tol JORR 2 yang semakin mempermudah koneksi antara wilayah-wilayah sub-urban ini (konsentrik), tanpa perlu melalui wilayah Jakarta.

“Upaya yang dapat dilakukan untuk mengimbangi fenomena Inner City Decline tersebut adalah dengan mengimbangi concentric access antar wilayah sub-urban dengan radial access, yaitu meningkatkan akses mobilitas dari wilayah-wilayah sub-urban ini ke arah pusat kota Jakarta.” Kata Emil. Selain itu, menurutnya, pola penataan wilayah di masa lalu yang mengkotak-kotakkan fungsi hunian dan bisnis perlu untuk diubah ke pola mix-use yang mendorong penduduk untuk hidup dan bekerja dalam kawasan yang sama dan mereduksi kebutuhan mobilitas ke kawasan luar.

Pada sesi selanjutnya, Ridwan Kamil (AR’90) mengungkapkan transportasi publik harus menjadi gaya hidup kedepan, dengan mencontohkan kehadiran kereta Whoosh yang memungkinkan jarak Jakarta-Bandung ditempuh dalam waktu kurang dari satu jam seperti yang ia gunakan untuk hadir di acara ini.  “Saya menggunakan Whoosh untuk hadir ke acara ini.” Kata Kang emil.  Menurutnya, seiring peningkatkan kualitas akses transportasi publik yang semakin baik, jarak tidak lagi menjadi faktor relevan bagi kehidupan masyarakat. Karena itu, kedepan akan sangat wajar jika warga Bandung bekerja secara commuter setiap hari ke Jakarta.

Lebih lanjut, alumni S1 Arsitektur ITB angkatan 1990 ini memaparkan kilas balik gagasan pemindahan ibukota yang sesungguhnya sudah ada sejak era Kolonial Belanda, hingga akhirnya ditetapkan menjadi konsep kawasan IKN di Kalimantan Timur pada era Presiden Joko Widodo. Ia juga mengungkapkan bahwa dari berbagai studi kasus yang ada di berbagai negara, peralihan status ibu kota tidak serta-merta akan langsung mengubah kehidupan wilayah bekas ibukota secara drastis. Meski demikian perencanaan jangka panjang tetap diperlukan agar ibukota yang lama bisa berkembang dengan konsep penataan kawasan yang baru.

Oleh karena itu, menurutnya yang jauh lebih dibutuhkan dalam perencanaan Jakarta kedepan adalah mengakomodasi sejumlah isu krusial, seperti perubahan iklim, meningkatkan fungsi Jakarta sebagai kawasan hunian (livability), peningkatan mobilitas warga, mendorong net-zero emission, dan rehabilitasi pemukiman kumuh.

Sumber: Sekretariat IA-ITB Jakarta