Warisan Pak Raden
Si Unyil bukan satu-satunya warisan Suyadi. Pameran karya-karyanya pada di Galeri Soemardja, Bandung menampilkan dedikasi “Pak Raden” terhadap seni dan literasi visual.
SEPULUH boneka kayu itu menarik perhatian banyak pengunjung di Galeri Soemardja, ITB. Pengunjung mengenal boneka-boneka kayu itu sebagai Unyil, Usro, Ucrit, Cuplis, Melani, Ableh, Pak Ogah, Pak Raden hingga Mbok Bariah.
Mereka yang lahir sebelum tahun 1990, mengingat Unyil cs dengan kesehariannya yang lucu. Sebelum cerita dimulai di TVRI setiap minggu pagi, Unyil dan kawan-kawannya akan membuka layar kaca dengan “Hom-pim-pah alaiyum gambreng!”
Tapi, mereka yang lahir setelah 1990, mengenal Unyil yang berbeda. Unyil yang membahas ilmu dan teknologi, lewat acara ‘Laptop si Unyil,’ yang tayang di Trans7. Tetap saja, Unyil adalah bagian tak terpisahkan dari budaya pop Indonesia.
Pada November lalu, Program Studi Desain Komunikasi Visual (DKV) ITB mengangkat kisah hidup dan karya pencipta Si Unyil ini dalam pameran bertajuk Suyadi: Kucing, Peci, dan Pak Raden. “Model pameran ini lebih historikal,kami ingin pengunjung mengenal dan mengapresiasi karya-karya Suyadi,” kata Zusfa Roihan (SM ’06, SR‘06), kurator pameran kepada Alumnia.
Menurut Zusfa, Tim kurator sempat kesulitan menelusuri kisah hidup Suyadi yang pernah mengenyam pendidikan Seni Rupa di ITB. “Data-data tentang beliau sangat minim,” kata Zusfa. Tim melakukan riset dan meminjam benda-benda peninggalan Suyadi untuk pameran kepada Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dan sejumlah kolektor.
Suyadi atau Raden Soejadi lahir dari keluarga ningrat di Puger, Jawa Timur pada 1932. Ayahnya, Sabekti Wirjokoe-soemo pernah menjadi patih di Surabaya. Sehingga Suyadi dapat mengenyam pendidikan ala Belanda yang memberi-nya peluang untuk mengakses pengetahuan lebih luas.
Saat kecil, Suyadi terpapar dengan bacaan dongeng anak anak semacam Duizend en Een Nacht (seribu satu malam) dan buku karangan Hans Christian Andersen. Buku-buku ini kelak menjadi inspirasi bagi Suyadi untuk menggeluti dunia pendongeng. Suyadi juga senang menggambar dan menyukai seni pertunjukan wayang—baik wayang wong, wayang kulit hingga wayang golek.
Pada 1952, Suyadi berkuliah di Seni Rupa ITB. Pada ma-sa itu kampus banyak mencetak guru-guru seni rupa. Kurikulumnya mengajarkan pendidikan seni rupa untuk anak-anak di berbagai jenjang pendidikan. Di dalam arsip yang masih tersimpan, ada banyak buku-buku menggambar berbahasa belanda. Antara lain Het Natuurlijk Teekenvermo-gen Ontwikkeld: Teeken-methode voor de Lagere School (pe-ngembangan Kemampuan Menggambar Alam: Metode Menggambar untuk Sekolah Dasar, 1933), dan Tekenen op de L.S (Menggambar di Sekolah Dasar, 1948). Entah dipelajari Suyadi atau tidak, buku-buku ini menjadi bekal guru seni rupa pada 1950an.
Ketika berkuliah, Suyadi banyak dibimbing oleh dosen-dosen Belanda. Salah satunya Lucy Leeman yang mengajar gambar ilustrasi. Kemampuan Suyadi dalam mengilustrasikan cerita dan teks semakin terasah di bawah bimbingan sang dosen. Suyadi sempat meneruskan jejak Mevrouw Lee-man sebagai pengajar ilustrasi di Seni Rupa ITB sekitar per-tengahan 1960an hingga 1970an.
Usai lulus dari ITB pada 1960, Suyadi melanjutkan studi ke Prancis. Dia menekuni bidang animasi di Les Cineastes dan Les Films Martin Boschet. Saat itu, Prancis merupakan satu pilihan terbaik untuk belajar animasi. Suyadi lulus pada 1964.
Si Unyil, karya masterpiece dari Suyadi tayang di TVRI pada 1981-1993. Philip Kitley dalam bukunya Television, Nation, and Culture in Indonesia (Ohio University Press, 2000) menyebutkan bahwa Si Unyil merupakan serial tele-visi paling favorit di zamannya.
Suyadi lebih dikenal sebagai Pak Raden—tokoh dalam serial si Unyil yang selalu dia perankan tiap kali mendo-ngeng atau mengajari anak-anak menggambar. Dia kerap tampil dengan blangkon, beskap, kain jawa lengkap dengan kumisnya yang lebar. Dia juga punya suara dan logat yang khas kala memerankan Pak Raden. “Pak Raden lebih terkenal dari Suyadi, karena beliau konsisten memerankan sosok bangsawan yang suka memberi petuah bijak kepada anak-anak,” kata Zusfa.
Keistimewaan karya-karya Suyadi terletak pada kemam-puan observasinya terhadap kehidupan sehari-hari dan kesederhanaannya. Si Unyil populer karena Suyadi mampu menyajikan kehidupan bocah desa menjadi hal yang menarik dan lucu.
“Menampilkan kesederhanaan dan mengangkatnya ke panggung layar itu sulit, ciri khasnya di situ. Dari sesuatu yang normal menjadi menarik. Ini butuh kecermatan dan kepekaan untuk melihatnya,” kata Zusfa.
Suyadi, bukan hanya unggul dalam seni pertunjukan peran dan kemampuannya menulis cerita. Dia juga seorang illustrator, animator, pengajar dan perupa. Selain boneka si Unyil, pameran ini menampilkan 40 karya gambar, ilustrasi, lukisan, buku-buku cerita dan audiobook Suyadi selama hidupnya.
Suyadi banyak menggunakan penggunaan garis outline dan gaya visual hitam putih untuk karya-karya gambarnya. Sementara karya-karya lukisannya, banyak menggunakan warna yang kuat dan cenderung tidak terpaut dengan alam. “Ada aspek emosional, ekspesif dan subjektivitas yang kuat,” kata Zusfa.
Suyadi juga menggunakan medium yang mudah ditemui seperti marker, pensil maupun grafit. “Ini menarik karena orang lain akan mudah mengikuti medium pengunaannya, tetapi kesulitan mengikuti pendekatannya Suyadi yang mampu menangkap momen kecil menjadi gagasan visual yang kuat,” kata Zusfa.
Pada 2012, Suyadi menerima penghargaan Ganesa Wid-ya Jasa Utama dari ITB. Penghargaan ini merupakan pengakuan atas perannya sebagai pelopor dalam industri kreatif, khususnya klaster animasi.
Suyadi menghembuskan nafas terakhirnya pada 30 Ok-tober 2015 di Jakarta. Semasa hidupnya, ia hidup sebatang kara di sebuah rumah di gang sempit bersama kucing peliharaannya. Ia tak menikah dan tak memiliki keturunan. Di masa tuanya, Suyadi menderita radang paru-paru dan mengalami kesulitan ekonomi. Dia tetap melukis untuk menyambung hidup di tengah kesulitan ekonomi menjelang akhir hayatnya.
Usai kematiannya, pemerintah menetapkan hari ulang tahun Suyadi sebagai hari dongeng nasional. Semasa hidupnya, Suyadi telah menciptakan lebih dari 90 judul buku anak, baik sebagai penulis maupun ilustrator.