Banjir aturan untuk mendukung ekosistem kendaraan listrik di Indonesia tak membuat target populasi mobil listrik pada tahun lalu tercapai. Apa penyebabnya?

EKOSISTEM kendaraan listrik kerap kali disebut sebagai salah satu kunci untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dan mencegah pemanasan global. Melalui target Enhanced Nationally Determined Contributions (NDC) dari sektor energi, pemerintah mendorong populasi kendaraan listrik hingga 15 juta pada 2030. NDC merupakan komitmen yang disepakati 194 negara dalam rangka mencapai tujuan Perjanjian Paris, yaitu mencegah kenaikan suhu global agar tak lebih dari 1,5 derajat Celsius dari masa praindustri. 

Ekosistem kendaraan listrik menjadi isu hangat yang banyak diulas media massa nasional, bahkan mendapat perhatian yang lebih besar dari rencana pensiun diri pembangkit batu bara. Mungkin karena kendaraan listrik lebih dekat ke masyarakat dan berkaitan dengan teknologi masa depan, isu ini mendapatkan sorotan besar dalam kaitan transisi teknologi. 

Pemerintah menerbitkan beragam aturan untuk menumbuhkan ekosistem kendaraan listrik ini. Pada 2022, Instruksi Presiden Nomor 7 Tahun 2022 diterbitkan untuk mendorong pertumbuhan ekosistem mobil listrik. Aturan itu mewajibkan penggunaan kendaraan listrik sebagai kendaraan operasional, hukan hanya dalam lingkup pemerintah pusat, tetapi juga pemerintah daerah. Sebelumnya, ada Peraturan Presiden Nomor 55 tahun 2019 tentang Percepatan Program Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (Battery Electric Vehicle) untuk Transportasi Jalan, dan peraturan perubahannya yang dirilis pada 2023 dan 2024.

Selain insentif untuk pabrikan, konsumen pun dapat jatah. Pajak pertambahan nilai (PPN) cukup dibayarkan 1% saja. Sisa 10% ditanggung pemerintah berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan nomor 38 tahun 2023 yang berlaku April-Desember 2023 (diperpanjang hingga akhir 2024). Melalui aturan itu, Kementerian Perindustrian menargetkan populasi mobil listrik di Indonesia mencapai 35.862 unit pada 2023.

Banjir insentif itu mendongkak pertumbuhan penjualan mobil listrik berbahan baterai pada 2023 sebesar 79,8% dibandingkan penjualan tahun 2022. Total penjualan mobil listrik pada akhir tahun lalu mencapai 18.589 unit.

Jika menambahkan angka penjualan dari 2019 (20 unit), 2020 (126 unit), 2021 (285 unit) dan 2022 (10.337 unit), maka total populasi mobil listrik yang beredar di jalan sudah mencapai 29.337 unit. Angka itu masih di bawah target populasi mobil listrik yang dibidik Kementerian Per-industrian yaitu 35.862 unit pada akhir 2023.

Pemerintah bukannya tak serius membangun infrastruktur pendukung ekosistem mobil listrik. Per akhir 2023, jumlah Stasiun Pengisian Kendaraan Listrik Umum (SPKLU) bertambah hingga 151% dibandingkan delapan bulan sebelumnya, meski jumlahnya masih terlalu minim, yaitu 932 unit. Kira-kira setara dengan jumlah Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) di Jawa Timur saja per Desember 2022.

Sebarannya juga belum merata di seluruh wilayah. Saat ini, hanya ada di 10 wilayah yang memiliki SPKLU. Sebagian besar berada di Jakarta, di mana jumlahnya men-capai 258 unit atau 27,7% dari total SPKLU di Indonesia.

JUMLAH SPKLU

Di luar itu, ada problematika besar di balik rencana jumbo transisi mobil berbahan bakar fosil menjadi mobil elektrik: perubahan kebiasaan. Ketika mobil berbahan bakar fosil kehabisan bensin, pengemudi cukup mencari SPBU terdekat untuk mengisi tangki dan melanjutkan perjalanan.

Namun, pengguna mobil listrik perlu mengisi daya setidaknya dua jam hingga baterai terisi penuh. Pengguna mobil listrik juga ‘dipaksa’ untuk merencanakan perjalanan, mengukur daya tahan baterai dan mencari SPKLU yang masih jarang ditemukan di banyak wilayah. Upaya untuk adaptasi ini cukup menantang bagi masyarakat modern yang terbiasa dengan perilaku instan nan praktis.

Selain itu, harga mobil listrik—meski dengan segala insentif, tak menarik bagi masyarakat menengah ke bawah, segmen populasi terbesar di Indonesia. Akibatnya, hanya masyarakat dari kelas menengah ke atas yang mampu memiliki mobil listrik.

Penjualan Mobil Listrik VS Mobil Hybrid

Faktanya, masyarakat menengah ke atas juga tak terlalu tertarik dengan mobil listrik. Buktinya terlihat dari Data Gaikindo. Sepanjang 2023, ketika insentif PPN 1% untuk mobil listrik diterapkan, penjualan mobil listrik masih tertinggal dengan penjualan mobil hybrid. Pada tahun lalu, penjualan mobil hybrid mencapai 50.907 unit, lebih dari dua kali lipat penjualan mobil listrik. Padahal harga mobil hybrid lebih mahal dan tak menerima insentif.

Mobil hybrid menggunakan dua sumber penggerak: bahan bakar fosil dan baterai listrik. Ketika bergerak hanya menggunakan daya baterai, ia tak mengeluarkan emisi. Jika daya baterai habis, mobil tetap bisa bergerak dengan menggunakan bahan bakar fosil (meski menghasilkan emisi.)

Mobil hybrid juga bisa bergerak menggunakan dua sumber penggerak saat bersamaan. Dalam kondisi itu, emisi tetap dihasilkan tetapi berkurang 30-50%. Intinya, pengguna mobil hybrid tak perlu repot mengubah kebia-saan berkendara.Perubahan perilaku bukan hal yang sepele. Larangan penggunaan plastik di minimarket misalnya, sukses mengurangi sampah berbahan plastik. Namun menghasilkan “sampah” baru: tumpukan kantong reusable di rumah. Berapa banyak dari kita yang berbelanja, tetapi lupa membawa kantong?

Di Indonesia, glorifikasi dan dukungan jor-joran kepada mobil listrik terlihat dari motif ekonomi di belakangnya. Indonesia bukan hanya ingin mengurangi emisi dari sektor energi lewat kendaraan listrik, tetapi ingin menjadi “raja baterai dunia” melalui penambangan nikel.

Pengembangan ekosistem mobil listrik diharapkan dapat mencetuskan ambisi itu menjadi kenyataan. Sebuah ironi, mengingat lebih banyak jenis mobil listrik yang beredar di Indonesia justru menggunakan baterai listrik berbahan bakar lithium-ferro-phospat.

Kendaraan listrik berbasis baterai bisa dianggap sebagai teknologi yang belum sepenuhnya siap menjadi solusi iklim. Produksi baterai kendaraan listrik—yang menjadi komponen utama mobil listrik—berpotensi untuk membuka lebih banyak tambang baru, merusak lingkungan, melambungkan harga-harga komoditas tambang, dan potensial mengubah peta ekonomi, jika produksi skala global digenjot.

Teknologi daur ulang baterai listrik tengah dijajaki untuk mengantisipasinya. Pada 2022, BBC melaporkan bahwa mendaur ulang baterai litium lebih mahal ketimbang menambang untuk membuat baterai baru. “Hanya ada 5% baterai Li yang didaur ulang secara global.” Yang berarti kebanyakan baterai listrik berbahan dasar Litium akan berakhir sebagai limbah.

Di sisi lain, sebuah perusahaan di Amerika baru-baru ini mengumumkan kemampuannya untuk mendaur ulang baterai nikel dengan kemurnian tinggi. Kebenaran teknologi ini atau berjalan tidaknya proses daur ulang baterai kendaraan listrik baru akan terlihat setelah 2025, fase pertama ketika jutaan baterai kendaraan listrik diperkirakan kadaluarsa.

Agaknya kita perlu menunggu satu-dua tahun kedepan untuk melihat bagaimana ekosistem mobil listrik ini berkembang. Yang jelas, untuk saat ini, ekosistem kendaraan listrik bukan obat mujarab krisis iklim.