Komunitas TimikTimik ITB memiliki agenda rutin menjelajah alam. Ada para petualang yang siap menerabas jalur ekstrem, ada juga kelompok rekreasi yang suka piknik.

Akhir pekan di Pangalengan, Kabupaten Bandung, saat suhu udara sedang panas-panasnya, tak mencegah Komunitas TimikTimik menghentikan rencana menjelajah alam. Pada awal Mei lalu, tim kecil 12 orang itu menggelar trekking melintasi puncak puncak pegunungan Malabar.

Norman Hikmawan (KR ’97) dan Saepudin Suhandar (DP ‘94) yang memimpin rombongan ke cil itu membawa golok untuk membuka jalan. Maklum, rute yang mereka pilih adalah jalur yang jarang dilalui pendaki Alang rintang, bukan hanya semak belukar yang menutupi jalan, tetapi medan yang licin dan terjal.

Hiking hari itu hanya salah satu dari banyak aktivitas yang dilakukan Komunitas TimikTimik. “Pegunungan Malabar itu gunung purba yang meletus lalu menghasilkan kaldera. Kami melintasi kalderanya,” kata Priyandi Asmandu (GM ’92), kepada Alumnia dalam wawancara daring.

Mereka berangkat pukul 07.00 pagi, dan kembali lepas malam. “Dari rencana delapan puncak, teman-teman hanya mampu melintasi enam puncak,” katanya.

Terbentuknya komunitas ini berawal dari keikutsertaan mengikuti ITB Ultra Marathon, acara olahraga lari (yang bisa dilakukan secara estafet maupun individu) dari Jakarta ke Bandung sepanjang 200 kilometer. Acara yang pertama digelar tahun 2017 itu menyatukan para alumni yang terserak di dunia kerja.

Pada 2018, acara tersebut semakin ramai. “Saya jarang bertemu teman-teman ’92 dari jurusan lain,” katanya. Dari acara itu, banyak alumi 92 yang memiliki minat yang sama yaitu jalan-jalan melintasi alam, mereka kemudian membentuk 92 Trackers. Belakangan, kelompok ini bertambah luas dari berbagai angkatan dan jurusan.

Kelompok ini ‘resmi’ terbentuk pada 21 Februari 2021, saat itu Pandemi COVID-19 melanda. Priyandi mengajak kawan-kawannya untuk menanjak Gunung Patuha, Ciwidey. “Mungkin karena pada bosan di rumah, yang ikut sampai 65 orang,” kata Priyandi. Hari itu mereka cetuskan sebagai hari lahir Komunitas TimikTimik.

Nama TimikTimik sendiri diambil dari kaus yang dipakai Andi Yudha (DKV ’85) hari itu. TimikTimik berasal dari kata bahasa Jawa yang berarti jalan-jalan kecil, “perlahan tapi pasti,” katanya.

Dua tahun lalu, komunitas ini pernah hiking ke Curug Siliwangi, air terjun tersembunyi di Kaki Gunung Puntang yang konon merupakan tempat petilasan Prabu Siliwangi. Untuk mencapainya, komunitas ini perlu mendaki dan merayap di batu. “Syukur saat itu tak musim hujan, karena bisa licin dan rawan tergelincir,” kata Priyandi.

Sesampainya di Curug, komunitas ini tak hanya diam menikmati alam, mereka memasak menggunakan bahan apa pun yang tersedia.

Tungku api dibuat dari kayu kering di lokasi, buah beri di sepanjang jalan menjadi kudapan. “Bala-bala jadi puyung hay, sisa kol, timun dan tahu jadi karedok. Wajan saja menjadi cobek, ulekannya dari batu di sungai,” katanya.

Aktivitas komunitas ini tak terbatas hiking atau trekking tapi juga berlari trail, bersepeda lintas alam sampai touring menggunakan kendaraan bermotor. Namun, tidak semua kegiatan seekstrem itu. “Ada juga kok kelompok yang senangnya rekreasi di pinggir sungai. Pada dasarnya ini komunitas penggemar wisata alam,” kata Priyandi.

Pada 26 Januari 2022, Gembong Primadjaja, Ketua Ikatan Alumni ITB, menjadikan Komunitas TimikTimik sebagai komisariat yaitu anak organisasi IA-ITB. Nama resminya kini Komisariat Lintas Alam Alumni ITB TimikTimik. Priyandi berharap Komunitas ini dapat menjadi wadah untuk alumni yang memiliki hobi jalan-jalan maupun lintas alam. “Harapan ke depan, kami dapat membangun database lokasi hiking, edukasi alam, pelestarian cagar alam budaya, dan hal-hal positif lainnya,” kata Priyandi.

Hal itu sudah mulai dirintis oleh komunitas ini. Pada saat erupsi Gunung Semeru akhir Desember lalu, komunitas ini menggalang donasi. Komunitas juga menggelar bakti sosial di Gunung Kendang dan Gunung Cikuray di Garut berupa pembagian sembako, Al-Quran, buku, baju hingga sepatu untuk petani kebun teh dan keluarganya. Komunitas juga pernah menggelar reboisasi di desa binaan di Bunikasih, Subang.

Aktivitas TimikTimik juga bisa disaksikan melalui webinar “Nongkrong Warung TimikTimik,” di kanal IA-ITB. “Yang saya ceritakan di webinar itu lebih dari sekadar perjalanan, tetapi kontribusi untuk masyarakat,” kata Priyandi.

Hingga saat ini jumlah anggota komunitas mencapai 503 orang di grup Facebook, dengan 330 orang tergabung dalam grup WhatsApp komunitas. Sebagian dari anggota komunitas ini adalah mantan anggota KMPA (Keluarga Mahasiswa Pecinta Alam) ITB dan anggota Wanadri. Norman Hikmawan dan Saepudin Suhandar yang jadi ‘dedengkot’ lintas alam ekstrem adalah anggota organisasi perhimpuan penempuh rimba dan pendaki gunung itu.

Komunitas TimikTimik tersebar dari generasi Baby Boomers hingga Gen Z. Priyandi menekankan bahwa usia tidak menjamin ketangguhan seseorang melintasi alam. “Ada beberapa alumni 70-an dan 80-an yang kuat dan bugar. Di sisi lain yang muda-muda, malah ada yang ‘jompo’. Semuanya adalah tentang pembiasaan,” kata Priyandi.

Alumni ITB yang ingin bergabung dengan Komunitas TimikTimik bisa bergabung dengan gup Facebook Komisariat Lintas Alam Alumni ITB, atau mengirim pesan ke Instagram @warungtimiktimik. ■