Dhitta Puti Sarasvati Ramli: Hasrat Mengajar Ibu Guru
Berawal dari kekecewaan terhadap sistem pendidikan, Dhitta kini dikenal sebagai perintis gerakan pemberantasan buta matematika. Terinspirasi pendidikan dalam keluarga.
SEJAK kecil, Dhitta Puti Sarasvati Ramli (MS ‘01) ingin menjadi guru. Dia senang mengajari anak-anak yang lebih muda membaca, atau sekadar membacakan buku. Ketika menempuh pendidikan tinggi, alih-alih menjadi mahasiswa jurusan pendidikan, dia menjadi mahasiswa Teknik Mesin. “Ayah dan ibu saya kuliah di ITB. Saya ingin jadi guru, tapi saya ingin juga lulus dari ITB,” katanya kepada Alumnia, awal Mei lalu.
Di kampus teknik, hasrat Dhitta untuk mengajar justru kian menyala. Di luar jam kuliah, Dhitta mengisi waktu luangnya mengajar matematika di komunitas taboo yang dibuat oleh Rahmat Jabaril, seniman gerbong bawah tanah. Dari tiga orang siswa, kelas itu berkembang menjadi 60 siswa.
Saat duduk di tingkat dua, dia menjadi guru honorer di Madrasah Tsanawiyah Al-Huda. Madrasah itu berlokasi di Kampung Sekepicung, Kecamatan Cimenyan, Kabupaten Bandung. Kini 22 tahun setelah mengajar di madrasah itu, Dhitta bukan hanya seorang guru dan pendidik, tetapi juga aktivis pendidikan. Dia menjadi perintis Gerakan Nasional Pemberantasan Buta Matematika (Gernas Tastaka).
Gerakan yang sudah berjalan sejak 2018 itu telah diikuti 2.807 orang Guru Matematika di penjuru Indonesia. “Kami mendampingi teman-teman guru sekolah dasar dan madrasah ibtidaiyah untuk belajar kembali bagaimana seharusnya mengajarkan matematika,” kata Dhitta, yang kerap dipanggil dengan nama tengahnya oleh keluarga dan kawan-kawan terdekat.
Matematika, kata dia, diajarkan bukan agar siswa menang olimpiade, tetapi agar “Matematika dapat dipelajari oleh siapa pun, di mana pun, sehingga siswa bisa bernalar dengan baik untuk bisa dipakai di bidang lain,” katanya.
Menurut Dhitta, pendekatan konkret gambar abstrak itu bukan sesuatu yang baru, melainkan ilmu paling sederhana dan mudah diingat dari pendidikan matematika.
Terbentuknya gerakan ini tak lepas dari latar belakang pendidikan Dhitta. Setahun usai lulus dari Teknik Mesin, Dhitta melanjutkan kuliah pendidikan matematika di University of Bristol, Inggris. Pemilihan studi magister ini diawali oleh kekecewaan Dhitta terhadap sistem pendidikan di Indonesia.
Menjelang lulus sarjana, Dhitta tak lagi mengajar di Madrasah Tsanawiyah Al-Huda. “Pemilik madrasah berganti dan tak mampu membayar guru honorer,” katanya.
Di tahun itu, semua siswa kelas sembilan—jumlahnya tujuh orang—tidak lulus ujian nasional. Dhitta kemudian mendidik anak-anak yang tak lulus dengan sukarela. Enam orang di antaranya lulus lewat ujian Kejar Paket B.
Di kampung itu pula, Dhitta merintis Komunitas Belajar Mentari yang hingga kini masih berdiri. Tetapi, pengalaman itu membuatnya melihat masalah pendidikan di Indonesia yang lebih kompleks. Masalah pendidikan di Indonesia bukan hanya soal anggaran, kualitas guru, tetapi juga soal sistem. “Pada saat tu, untuk ikut ujian kejar paket ada ‘pemain’. Tidak semua orang punya akses terhadap itu, Ini masalah sistem,” katanya.
Dhitta banyak terpapar dengan pemikiran para cendekiawan tentang konsep ideal pendidikan. Dia sempat mempresentasikan laporan tentang pendidikan di Indonesia, dari pengalamannya di Kampung Sekepicung yang digelar SMERU Research Institut dan UNICEF pada 2010.
Enam tahun lalu, Dhitta merintis program pendidikan Guru Matematika yang kini dikenal sebagai Gernas Tastaka. Program pelatihan pendidikan Guru Matematika 36 jam itu berbasis kesukarelawan. “Kalau kami melatih orang lain, orang lain akan menjadi bagian dari gerakan sehingga mereka akan berbagi lagi kepada guru lainnya dan seterusnya,” kata Dhitta soal rancangan programnya. Karena pendanaan terbatas, gerakan ini digelar secara sporadis. Pada tahun pertama misalnya, program GernasTastaka ini digelar di tiga wilayah kabupa-ten Bogor. Kemudian, di Pasuruan, Jawa Timur. Pernah juga di Maluku Selatan.
Di akhir salah satu program pelatihan, Dhitta pernah menyaksikan para guru madrasah melompat-lompat gembira. “Selama 20 tahun kami tak pernah mendapat (pelatihan) seperti ini,” katanya menirukan para guru. Usai pelatihan, guru-guru itu melaporkan siswanya ketagihan belajar Matematika. “Nilai rata-rata matematika di madrasah itu naik.” Gerakan itu juga membuat waktu Dhitta teramat padat.
Dhitta yang bekerja sebagai dosen tetap, harus menghabiskan waktu akhir pekannya di luar kota untuk melatih Guru Matematika. Pandemi COVID-19 tak menghentikan langkahnya. “Justru karena pandemi, kami punya versi daring,” katanya. Pandemi pula yang menginspirasi Dhitta untuk merintis Gerakan Nasional Pemberantasan Buta Membaca (Gernas Tastaba). Struktur program mirip dengan pelatihan Matematika. Tapi, untuk yang ini, Dhitta melibatkan para pakar literasi.
Belakangan kedua gerakan itu bernaung di bawah Yayasan Penggerak Indonesia Cerdas. Dhitta menjadi Dewan Pengawasnya. Yayasan itu juga memiliki unit Research Center untuk riset pendidikan serta barisan pengkaji pendidikan (Bajik) untuk merekomendasikan kebijakan pendidikan dan mendidik publik tentang isu-isu pendidikan dasar. Hingga akhir 2023, Gernas Tastaka, Gernas Tastaba dan pelatihan dari Yayasan telah digelar di 43 kabupaten/ kota dan melatih lebih dari 9.000 pengajar, baik secara luring maupun during. Ada pun penerima manfaatnya, yaitu siswa diperkirakan mencapai 54 ribu orang.
Hasrat Dhitta untuk memperbaiki kualitas pendidikan di Indonesia tak lepas dari pengaruh ayahnya, Rizal Ramli (FI ‘73)—aktivis mahasiswa yang menjadi salah satu ekonom paling berpengaruh selama masa reformasi—dan ibunya, Herawati Moelyono. Dhitta masih ingat bagaimana ibunya menghabiskan akhir pekan untuk membacakan buku kepada tuna netra atau bagaimana ruang kerja ayahnya kerap diisi oleh rapat-rapat pergerakan.
“Saya belajar dari orang tua yang senantiasa memikirkan orang lain dan selalu diajarkan agar tidak hanya sekolah, kuliah, kerja. Tapi bermanfaat bagi orang lain,” katanya. Meski orang tuanya terbilang sibuk, Dhitta merasa bahwa keduanya memberikan stimulus intelektualitas, seni, budaya dan spiritual yang amat besar.
“Saya merasa stimulus itu membuat saya lebih dewasa ketika saya kecil dan saya berharap stimulus seperti itu dirasakan semua anak-anak di Indonesia,” kata Dhitta. Cita-cita Dhitta terbilang spesifik: meningkatkan kualitas pendidikan guru di Indonesia, khususnya pendidikan guru sekolah dasar.