D.K. Wardhani: Membentuk Perilaku Kolektif Minim Sampah
D.K. Wardhani merintis komunitas Kelas Belajar Zerowaste (BZW). Selama 2018-2022, mantan dosen yang kini dikenal sebagai penulis buku ini mendorong pengurangan sampah hingga 1.020,75 ton.
KEBIASAAN baik berawal dari rumah. Agaknya hal itulah yang mendorong Dian Kusuma Wardhani (AR ’97)—kerap dipanggil Dini, membentuk perilaku kolektif minim sampah.
Mulanya di rumah, dalam lingkup keluarga, lalu dalam komunitas yang lebih besar. Tak banyak yang tahu, faktor yang mendorong Dini membentuk perilaku kolektif komunitas untuk mengelola sampah mandiri, berawal dari kampus.
Hingga tujuh tahun lalu, Dini adalah dosen Perencanaan Wilayah Kota di Universitas Brawijaya Malang. Dia dikenal salah satu dosen yang bawel soal kebersihan. Dini menginisasi bank sampah dan tempat sampah terpilah di jurusan. “Saya jengkel. Ketika membuka tong sampah untuk kertas, isinya cilok,” kata Dini dalam wawancara daring kepada Alumnia, awal Mei lalu.
Padahal, kata dia, tempat sampah itu diberi label dan gambar. Saat itu, Dini menyadari bahwa persoalan pemilahan sampah bukan sekedar pemahaman dan intelektualitas, tetapi persoalan perubahan perilaku. Tahun 2017 menjadi titik balik dalam hidup Dini. Ia mengundurkan diri dari universitas tempatnya mengajar.
“Prioritas saya sudah berubah,” katanya. Saat itu, Dini melihat kampus layaknya menara gading, sebuah tempat ketika teori ramai dibicarakan tetapi pelaksanaannya sangat jauh. “Saya melihat banyak orang punya ilmu tapi amalnya sedikit,” katanya. Di sisi lain, Dini ingin fokus mendidik putra putri kembarnya yang masih kecil (homeschooling).
Keputusan yang tidak populer itu, nyatanya justru membuat produktivitasnya meningkat. Setahun setelah mundur sebagai dosen misalnya, tidak kurang dari empat judul buku dia terbitkan. Sejak tujuh tahun sebelumnya, Dini telah menerbitkan buku kerajinan tangan, buku anak. Belakangan, dia juga menerbitkan buku lingkungan seperti Menuju Rumah Minim Sampah (2018), Bye Bye Sekali Pakai (2020) dan Mengompos itu Mudah (2020).
Pada 2018, Dini diundang menjadi pemateri dalam sebuah kelas penulisan kreatif di Yogyakarta. Bersama salah satu penyelenggara, Dini bersepakat menjadikan kelas itu proyek eksperimen minim sampah. Salah satunya, dengan tak menyediakan air mineral dalam kemasan.
Di akhir kelas, Dini menghitung dan membuat laporan laporan pengurangan timbulan sampah dari kegiatan itu. Kelas itu menjadi cikal bakal terbentuknya Kelas Belajar Zerowaste (BZW), kelas virtual gratis yang berlangsung selama empat bulan. Tujuan akhirnya adalah membiasakan perilaku minim sampah atau nol sampah dalam kehidupan sehari-hari.
“Dalam kelas ini, ada tantangan mengurangi sampah secara bertahap,” kata Dini. Jumlah peserta kelas awal kelas ini mencapai 255 orang. Para peserta bakal mengikuti sistem lolos atau gugur selama pembelajaran berlangsung. Peserta yang mampu menyelesaikan tantangan hingga akhir akan diwisuda dan bakal menjadi narasumber, fasilitator maupun pendukung untuk kelas berikutnya.
Sepanjang 2018-2022, alumni kelas BZW sebanyak 582 orang telah mengurangi sampai sebesar 1.020,75 ton atau 90,49% dari laju timbulan sampah. Angka ini sudah diaudit oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Tapi, jika mengukur jumlah orang yang dipengaruhi para alumni BZW, jumlahnya bisa mencapai 3.500 orang. Hingga Mei 2024, sudah ada 13 kelas BZW yang dinyatakan lulus.
Dini menjelaskan bahwa generasi yang ada saat ini menjalani era yang berbeda dengan orang tuanya. “Kita menginginkan kehidupan serba mudah, praktis, dan tak repot. Sementara industri mencari keuntungan yang sebesar-besarnya dengan tingkatan tertentu, Sehingga menciptakan kebiasaan beli-pakai-buang,” katanya.
Kebiasaan inilah yang ingin diubah Dini. Kebiasaan sekali pakai menciptakan sampah dan menghabiskan sumber daya untuk masa depan generasi yang selanjutnya. Persoalan kesehatan, pencemaran air, kerusakan tanah, polusi udara, perubahan iklim sampai kepunahan kehidupan muncul sebagai akibat dari kebiasaan ini.
Data KLHK menyebutkan bahwa sebanyak 40,5% sampah nasional 2023 merupakan sampah rumah tangga. Sehingga, peran ibu sebagai kunci mengubah kebiasaan di rumah kian besar. Sebab, Ibu yang menentukan kantong be-lanja, memilih sumber pangan, mengajari anak-anak kebiasaan baik dan lain sebagainya.
“Dari sebelum belanja, kita memikirkan dulu, apa yang dilakukan untuk mencegah sampah,” kata Dini. Karena mencegah sesungguhnya lebih diutamakan ketimbang memilah mau pun mengolah sampah. Dini menggunakan jargon “cegah, pilah, olah” yang lebih mudah dipahami masyarakat Indonesia ketimbang Reuse, Reduce, Recycle.
Sebanyak 73,4% alumni BZW adalah perempuan yang berasal dari beragam latar belakang seperti ibu rumah tangga, ASN, pekerja kreatif, pendidik hingga konsultan lingkungan. Banyaknya perempuan yang lulus dari program ini diharapkan mampu meneruskan kebiasaan positif ini di keluarga dan lingkungan tempat tinggalnya.
Dini tak berpuas diri. Dia membangun komunitas Sapa Bumi—kependekan dari Sahabat Pilah Sampah Bumi Meranti. Komunitas ini diperuntukkan bagi kawan dan tetangga yang tinggal dalam radius 30 kilometer dari rumah Dini. “Saya ingin ada kegiatan luring yang benar-benar ada dampaknya ke sekitar,” kata penulis yang telah menerbitkan 63 judul buku ini.
Dini mendorong jaringan Sapa Bumi untuk mengurangi sampah dan melakukan cegah, pilah, dan olah sampah. Dia membangun drop point daur ulang sampah dan mengatur jadwal pengangkutan sampah komunitasnya, dengan syarat bersih, kering dan terpilah. Jadwal itu bukan hanya mencakup pengangkutan sampah kertas dan plastik tetapi sampah masker hingga sampah baterai.
Menurut Dini, perubahan sikap terhadap lingkungan adalah hal mendasar. “Jangan buru-buru ingin mengubah dunia dan meredam perubahan iklim, tapi diri sendiri tak berubah. Yang paling utama itu sesungguhnya adalah perubahan diri kita, lalu ke lingkaran sekitar,” katanya.