Dia menjadi perempuan pertama yang memimpin Jones Lang La Salle di Indonesia. Data menjadi kunci kala berhadapan dengan klien. 

KETIKA lulus dari program studi Perencanaan Wilayah dan Kota pada 2009, Farazia Basarah (PL’‘05) memiliki impian besar untuk bekerja di salah satu dari tiga tempat ini: Bappenas, Bank Dunia atau lembaga konsultan bergengsi. Empat belas tahun kemudian, Farazia bukan hanya bekerja di tempat impiannya, tetapi menjadi pimpinan tertinggi lembaga konsultan manajemen real estat multinasional, Jones Lang La Salle (JLL) Indonesia.

Farazia menjadi perempuan pertama di Indonesia yang menempati posisi ini sejak September tahun lalu. “Saya terkejut, tidak menduga akan menjadi Country Head, tapi bersyukur karena dipercaya untuk meneruskan JLL,” kata Farazia, kepada Alumnia, lewat wawancara daring akhir Mei lalu.

Tetapi, perjalanannya mencapai karier impian harus melalui jalan yang berkelok. Sebulan setelah wisuda, Farazia menerima tawaran kerja di Bank Mandiri sebagai Management Trainee. “Pada saat lulus, tawaran kerja terbanyak memang dari perbankan,” kata Farazia yang sempat menebar curriculum vitae di berbagai pekan kerja.

Di Bank BUMN terbesar ini, Farazia menemukan euforia bekerja. Dia belajar banyak ilmu keuangan. Di tempat ini pula ia bertemu jodohnya dan menikah. Tetapi, kesempatan bekerja di dunia perbankan ini hanya ia jalani selama dua tahun. Karena aturan perusahaan tidak memungkinkan suami-istri bekerja di tempat yang sama. Salah satu dari mereka harus mengundurkan diri.

Pada akhirnya, Farazia yang memutuskan mundur. Sebab, posisi suaminya lebih tinggi. Kebetulan, pada saat yang sama, seniornya Dito (PL ‘02) tengah mencari tenaga kerja tambahan untuk mengurusi investasi real estat dari luar negeri. Tawaran ini ia ambil karena lebih cocok dengan latar belakangnya di perbankan. “Saya tahu JLL sejak kuliah dan saya sangat bersemangat,” katanya.

Proyek pertama Farazia adalah mengakuisisi lahan seluas 60 hektar di Cikarang. Proyek pembangunan pabrik dari mobil Wuling itu bernilai Rp 9,3 triliun. Sejak itu ia terlibat dalam berbagai proyek besar JLL, antara lain, dari perusahaan manufaktur asal Amerika Serikat, Kohler, Frisian Flag, dan Yili. Dua yang terakhir disebut adalah perusahaan produsen susu.

Portofolio Farazia berkembang mencakup klien dari berbagai sektor seperti manufaktur, logistik, e-commerce, dan pusat data. Pada 2019, dia diangkat menjadi Kepala Logistik dan Industri. “Proyek yang paling menarik bagi saya adalah ketika klien meminta kami tidak hanya mencari lahan untuk pusat data tetapi juga membangunnya,” kata Farazia. “Kami harus memastikan pengembang membangun pusat data sesuai persyaratan yang ditentukan.”

Terlibat dalam proyek pusat data memberi Farazia wawasan baru. “Ini adalah contoh bagaimana digitalisasi di Indonesia menjadi kenyataan, dan kehadiran pusat data juga dapat menjadi bagian penting dari real estat,” ujarnya.

Ketika berada di jalur karier yang benar, Farazia juga menghadapi banyak tantangan. Usianya yang relatif muda kadang dipandang sebelah mata oleh klien-klien senior perusahaan asing. “Selama kami tetap berpegang pada data, mereka pada akhirnya akan mempercayai kami,” katanya. Bagaimana hal ini bisa terjadi? Simak kisahna di alumnia jkt.

Menurut Farazia, kondisi real estat di Indonesia masih jauh dari ideal. Suku bunga pinjaman terbilang tinggi. Di sisi lain daya beli konsumen rendah. “Jika suku bunga pinjaman turun, saya rasa akan ada lebih banyak investor yang menanamkan modalnya di Indonesia,” katanya.

Farazia merasa pendidikannya di ITB membekalinya dengan kemampuan berpikir kritis. “Di ITB kita menjadi terbiasa mempelajari suatu permasalahan dari berbagai sudut pandang dan mencari solusinya,” katanya. Hal ini, kata dia, menjadi bekal yang berharga untuk menghadapi tantangan dalam dunia kerja.

Farazia berupaya meningkatkan keterlibatan karyawan dalam interaksi kepada klien. Ia juga berkomitmen untuk mengadopsi nilai-nilai keberlanjutan dalam proyek dan pada tingkat individu. “Pemanasan global adalah hal yang nyata, dan real estat mengeluarkan sejumlah besar karbon. Sebagai perusahaan real estate, kita harus mulai dengan mengurangi emisi karbon kita sendiri,” ujarnya.