Pelopor kosmetik halal di Indonesia ini pernah jatuh bangun membangun bisnis. Paragon tetap tumbuh ketika dihempas pandemi.

NAMA Nurhayati Subakat (FA ’71) tak bisa dilepaskan dari Wardah. Berkat tangan dinginnya, produk kosmetik yang pertama kali mencantumkan kehalalannya ini tersedia di pasar dengan harga terjangkau. Wardah menjadi produk dengan pertumbuhan mencapai 130% pada 2009.

Lima tahun kemudian, Euromonitor menyebut Wardah sebagai 10 besar merek kosmetik dengan pertumbuhan tercepat. Nurhayati tidak pernah mengira bisnisnya sebesar sekarang. Terutama setelah nyaris bangkrut di tahun 1990.

“Saat itu rumah dan pabrik saya terbakar habis,” kata Nurhayati, dalam wawancara daring kepada Alumnia, Mei lalu. Ia berpikir untuk menutup bisnisnya. Suaminya bekerja dan lebih dari cukup membiayai hidupnya dan anak-anaknya. Namun, pada akhirnya, Nurhayati membangun kembali bisnisnya. “Yang saya pikirkan adalah karyawan,” katanya. Perusahaan Nurhayati, PT Pusaka Tradisi Ibu, saat itu memiliki 30 pegawai.

Lima tahun sebelum kebakaran besar itu, Nurhayati memulai bisnis kosmetik. Ia baru saja mundur dari posisi Manajer Quality Control di perusahaan produksi perawatan rambut. Nurhayati mengundurkan diri karena aturan fleksibilitas waktu bekerja dihapuskan. Tetapi bagi dia, berhenti bekerja tak berarti stop berkarya.

Tumbuh besar dari keluarga pedagang asal Padang Panjang, Nurhayati memutuskan, saat itu adalah waktu yang tepat untuk membuka bisnisnya sendiri. Produk pertamanya adalah sampo bernama Putri. Produknya laku di salon karena harganya lebih murah, dengan kualitas yang sama baik dibandingkan produk lain. Ini tak lepas dari kegemaran Nurhayati mengotak-atik formula bahan baku. Dia lulusan terbaik Farmasi dan lulusan terbaik pendidikan Apoteker ITB.

Wardah baru diproduksi pada 1995, tepatnya 20 tahun usai ia lulus Sekolah Farmasi. Wardah tak langsung meraup sukses. Produk yang semula ditujukan untuk santriwati pesantren sempat tak laku. Sebab, “santriwati tidak berdandan,” katanya. Wardah sempat mengalami penjualan melalui sistem multi level marketing (MLM) pada akhir 90-an, sebelum menemukan pasarnya sendiri: kaum muslim kelas menengah.

Kisah Nurhayati adalah kisah seseorang yang tetap bangkit ketika terjatuh. Nurhayati tak diterima saat melamar menjadi

menjadi dosen usai lulus kuliah. Ia juga pernah ditolak ketika melamar menjadi apoteker. Pasar sempat menolak produk pertamanya, sampo Putri. Bahkan penerimaan Wardah tidak semulus yang diharapkan.

Namun, ia menganggap penolakan dan kegagalan itu bagian dari kehidupan. “Selalu ada hikmah dari setiap penolakan dan kegagalan,” kata Nurhayati. Saat gagal menjadi dosen, ia berkesempatan kembali ke Padang Panjang untuk menemani sang Bunda. Saat ditolak menjadi apoteker, ia diterima di perusahaan produk perawatan rambut dengan upah empat kali lebih tinggi dari upah apoteker. Sampo Putri yang ditolak pasar menjadi primadona bisnis salon di ke-mudian hari. Bahkan ketika kebakaran memaksanya memulai lagi dari nol, usahanya justru tumbuh melesat tahun-tahun setelahnya.

Nurhayati menekankan lima formula dalam menjalani hidup, yaitu nilai ketuhanan, kepedulian, kerendahan hati, ketangguhan dan inovasi. Ketuhanan membuat seseorang selalu optimis saat menjalani kesulitan. “Kepedulian membuat saya bisa bangkit kembali karena orang lain,” katanya. Kerendahan hati mendorong seseorang untuk selalu belajar. Sementara ketangguhan dan inovasi adalah sikap yang harus dimiliki untuk tetap maju.

Formula yang sama ia wariskan untuk masa depan peru-sahaan yang kini diserahkan kepada putra-putrinya: Harman Subakat yang kini menjadi CEO Grup (KI ’97), Salman Subakat (EL ’98) sebagai CEO NSEI (Nurhayati Subakat Entrepre-neurship Institute), dan Sari Chairunnisa, dokter spesialis kulit yang memegang kendali riset dan pengembangan (R&D).

Pada 2015, PT Pusaka Tradisi Ibu berubah nama menjadi PT Paragon Technology and Innovation. Dalam kuliah tamu di Fakultas Ekonomi Bisnis Universitas Indonesia, Nurhayati pernah menyebutkan pertumbuhan Paragon pada 2017 mencapai 43% dari pencapaian tahun sebelumnya. Ketika dihempas Pandemi COVID-19, Paragon tak berhenti berekspansi.

“Kami justru merilis tujuh merek baru,” kata Nurhayati, yaitu, OMG, Beyondly, Wonderly, Tavi, Biodef, Labore dan Kahf. “Kahf yang dirilis Oktober 2022 menjadi nomor satu penjualan di kategori pelembab,” katanya. Pandemi tak menyusutkan pertumbuhan Paragon. “Kami masih tumbuh, walaupun tak setinggi tahun sebelum 2020,” katanya.

Saat banyak perusahaan melakukan efisiensi dan merumahkan sebagian karyawan akibat pandemi, Paragon tetap membuka lowongan program Management Trainee. Tak heran jika Nurhayati dinobatkan sebagai wanita berpengaruh 50 Over 50 Asia oleh Forbes pada 2022.

Nurhayati masih memiliki mimpi yang ingin ia wujudkan, “menjadi pemimpin di negeri sendiri,” katanya. Ia dan anak-anaknya tengah mengotak-atik formula untuk mengembangkan produk ke kategori fast-moving consumer goods (FMCG) lainnya, yaitu produk kebutuhan sehari-hari seperti sampo, sabun, pasta gigi dan lain-lain. Menguatnya isu dukungan untuk Palestina saat ini bisa menjadi momentum yang tepat bagi Paragon terus bertumbuh.

Pasar Paragon tidak hanya di Indonesia, tetapi sudah mencapai Malaysia. Peluang pasar untuk Timur Tengah juga tengah digodok. “Tantangan ada pada memilih partner bisnis di negara tujuan ekspor,” kata Nurhayati. Paragon saat ini memiliki lebih dari 15 ribu karyawan di penjuru Indonesia, 80% dari jumlah itu adalah perempuan.

Nurhayati lahir dan besar di Sumatera Barat. Anak keempat dari delapan bersaudara ini hijrah ke Bandung ketika kuliah. Pada 2019, Nurhayati menjadi perempuan pertama yang meraih gelar doktor Honoris Causa (HC) dari ITB. Gelar Honoris Causa merupakan penghormatan kepada seseorang yang memberikan sumbangsih nyata memajukan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni sehingga memiliki dampak luar biasa bagi perkembangan kebudayaan dan kemanusiaan.