Lebih dari 30 tahun berkarier di sektor minyak dan gas, Shinta kini dipercaya menjadi Wakil Kepala SKK Migas. Terinspirasi etos kerja dan semangat ibu.

DI awal kariernya, Shinta Damayanti (GL ‘83) bisa menghabiskan dua hingga tiga pekan di kilang minyak. Pekerjaannya saat itu sebagai ahli Geologi adalah mengambil minyak mentah untuk diteliti kandungannya. Hampir setiap hari Shinta harus bergelut dengan minyak, lumpur, dan batu di pedalaman Kalimantan Timur.

Shinta bukan hanya orang lapangan, dia juga berpengalaman mengurusi manajemen dan industri hulu migas. Lima belas tahun lalu, Shinta mengubah haluan kariernya dari industri men- jadi regulasi saat dia bergabung dengan Badan Pelaksana Kegiatan Hulu Migas (BP Migas)—kini Satuan Kerja Khusus Migas (SKK Migas).

Pengalaman di lapangan dan manajemen industri hulu migas, latar belakang pendidikan, serta karakternya yang lugas membuat kariernya cemerlang di lembaga ini. Awal April lalu, Shinta dilantik sebagai Wakil Kepala SKK Migas. Posisi ini dia pegang rangkap dengan sekretaris SKK Migas.

Jabatan ini merupakan posisi tertinggi dalam karier Shinta. Jabatan ini juga merupakan posisi tertinggi yang pernah dicapai perempuan di SKK Migas. Sejak lembaga ini bernama Badan Pengusahaan dan Pembinaan Kontraktor Asing (BPPKA), BP Migas hingga menjadi SKK Migas, baru kali ini ada perempuan yang menjabat posisi tinggi di manajemen. Tugas berat kini me-nanti Shinta. Bukan hanya menjaga kinerja hulu migas, tetapi memaksimalkan pula kontribusi penerimaan negara.

“Jika kebutuhan energi tidak dipenuhi, APBN akan tergerus,” katanya kepada Alumnia, awal Mei lalu. Apalagi, permintaan energi dari 2020 ke 2030 itu naik tiga kali lipat. SKK Migas menetapkan target produksi 1 juta barel minyak per hari, dan 12 miliar kaki kubik standar gas per hari. “Saat ini, kami baru mencapai sepertiga dari target,” katanya. Itu sebabnya SKK Migas menggiatkan eksplorasi besar-besaran untuk menemukan ladang dan memproduksi minyak dan gas.

SKK Migas juga tengah menjadi sorotan karena pemerintah dan DPR kembali menggodok aturan Badan Usaha Khusus (BUK) Migas. SKK Migas hendak diganti dengan BUK Migas se-suai dengan Keputusan Mahkamah Konstitusi. Lembaga yang bakal terbentuk ini diharapkan memiliki wewenang lelang wilayah kerja (WK) migas.

Saat ini, wewenang itu ada di Kementerian Energi Sum- ber Daya Mineral (ESDM). “Kami agak kerepotan karena tidak dilibatkan dari proses awalnya,” katanya. Selain itu, lem-baga ini ingin memperoleh mandat untuk menjadi agregator gas. “Karena kami yang paham pemetaan keseimbangan permintaan dan penawaran migas,” kata Shinta.

Revlin Primadhani (TM ‘04) mengenal Shinta sebagai sosok yang sangat paham industri migas. “Bu Shinta itu paket lengkap; pekerja keras, giat, ramah, tapi juga tegas dan lugas,” kata Revlin yang pernah bekerja dengan Shinta di bidang perencanaan. “Dia juga bisa dekat dengan bawahan, tak segan menyapa bawahan lebih dulu baik langsung maupun via media sosial,” katanya.

Shinta berasal dari keluarga terpelajar. Ayahnya, Cipto Kusumo merupakan dosen Teknik Kimia ITB. “Ibu saya alumni Farmasi. Beliau mengurus anak-anak setelah berkeluarga. Tapi dia tak ingin berhenti sampai di situ,” katanya. Sang ibu yang fasih berbahasa Belanda kembali kursus bahasa Prancis dan Jerman.

Shinta teringat tiap kali pulang dari SD/SMP Taruna Bakti di Bandung, sang ibu menjemput. Pekerjaan sang ibu di Goethe Institut yang bersebelahan dengan sekolahnya, menurut Shinta, “setali tiga uang”. Sang ibu tetap berkegiatan, bekerja, dan tetap mengurus anak. Sebelum di Goethe Institut, sang ibu juga pernah bekerja di Alliances Française.

Kemampuan sang ibu menjalankan banyak peran itulah yang ingin dia miliki ketika berkeluarga. Shinta bersyukur suami dan anaknya memahami profesinya. “Suami saya itu alumni Geologi ITB. Dia enggak bingung ketika istrinya be-kerja di rig dengan 102 orang, yang mana 100 orang di antaranya laki semua,” katanya.

Namun dalam mendidik anak, Shinta mengibaratkan tiga putranya seperti buku kosong yang perlu diberi pemahaman tentang makna pekerjaan. “Sejak mereka kecil, mereka tahu bahwa bekerja itu enggak harus jam tujuh pagi berangkat, jam lima sore pulang kerja. Bekerja tidak hanya duduk,” katanya.

Ketika Shinta di rumah, anak-anak memahami ketika telepon dari kilang berbunyi, sang ibu harus membuka peta dan memberikan arahan. “Saya memberikan pandangan yang lebih luas tentang pekerjaan pada anak-anak. Saya harus terima konsekuensinya ketika anak memilih jalur karier yang berbeda,” kata Shinta.

Dalam mengurus anak, Shinta tidak menggunakan jasa babysitter. Pagi hari sebelum bekerja, Shinta akan memandikan anak-anaknya ketika masih kecil. Begitu pula ketika pulang, meski matahari sudah tenggelam, adalah Shinta pula yang memandikan anak-anaknya sebelum naik ke kasur untuk beristirahat. “Yang penting saya dapat sentuhan mereka,” kata Shinta.

Kerja kerasnya bertahun-tahun membagi waktu dan peran membuahkan hasil. Dua putranya telah bekerja menjadi pebisnis, sementara si bungsu menimba ilmu sebagai mahasiswa Desain Komunikasi Visual di salah satu perguruan tinggi di Bandung. Dengan posisi barunya, Shinta pun bersiap menjalankan transformasi organisasi manakala SKK Migas berubah menjadi BUK Migas.