Profesor Fatimah Arofiati Noor: Kesetiaan Terhadap Ilmu Fisika
Di usia 42 tahun, Fatimah dilantik menjadi guru besar termuda di FMIPA ITB. Baginya, menjadi dosen bukan sekadar mengajar, tetapi mendidik.
FATIMAH Arofiati Noor (FI ’99) tak ingat memilih Fisika ITB dalam Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri (UMPTN) di tahun 1999. Yang jelas, ketika hasil kelulusan diumumkan lewat surat kabar, Fatimah menemukan namanya lulus di pilihan keduanya itu. “Padahal saya tak suka Fisika,” kata Fatimah kepada Alumnia dalam wawancara daring pertengahan Mei lalu. Sudah terlanjur basah, Fatimah pun belajar menyukai Fisika.
“Dari tak suka menjadi cinta,” katanya. Menurut dia, Fisika mudah jika kita memahami konsepnya. “Fisika bukan soal berhitung atau menurunkan rumus. Ini soal konsep dan logika,” katanya. Kesetiaannya terhadap Fisika menorehkan prestasi. Ia menjadi guru besar termuda di FMIPA ITB pada 2023 dengan keahlian di bidang simulasi material dan perangkat elektronik. Usianya 42 tahun saat dilantik.
Dalam orasi ilmiahnya di Aula Barat ITB, 18 Mei lalu, Fatimah menekankan bahwa komputasi material dan divais elektronik menjadi hal utama sebagai alat untuk menggali kompleksitas material dengan akurasi tinggi. Kedua hal itu juga penting dalam merancang perangkat elektronik dengan efisiensi yang belum pernah terjadi sebelumnya. “Material adalah pondasi semua perangkat elektronik dan divais elek-tronik adalah jantung dari perangkat modern,” katanya.
Pendekatan komputasi, kata dia, dapat menjadi jalan satu-satunya untuk mempelajari respons material dalam kondisi ekstrem yang tak bisa dilakukan dalam laboratorium. Misalnya, kondisi tekanan tinggi, temperatur tinggi, kontaminan zat berbahaya, dan radiasi nuklir. Komputasi divais elektronik dapat menghindari pembuatan prototipe fisik yang mahal dan memakan waktu. “Ukuran ponsel pintar yang semakin tipis adalah bukti perkembangan ilmu material dan divais elektronik,” katanya.
Keahlian di bidang komputasi yang dikuasai Fatimah bermula dari kecerdikan dan kegigihannya memecahkan masalah umum para peneliti: biaya penelitian yang besar. “Persoalan biaya bisa jauh berkurang dengan menggunakan penelitian komputasi,” katanya.
Untuk menjadi guru besar di usia muda juga mustahil tanpa kegigihan mencapai tonggak-tonggak pencapaian di bidang akademik. Aturan DIKTI mengatur syarat menjadi guru besar, antara lain, publikasi jurnal internasional berepu-tasi, pengalaman sebagai dosen minimal 10 tahun, dan memiliki 850 poin angka kredit dosen. Kegigihan Fatimah tak lepas dari pola pendidikan yang diterapkan ayah dan ibunya.
Fatimah lahir dari keluarga sederhana. Ayahnya montir di bengkel keluarga dan ibunya mengurus rumah tangga. Keduanya tak pernah memberikan target-target tertentu dalam pendidikan akademik. Mereka membebaskan pilihan hidup anak-anaknya. “Orang tua saya hanya menekankan anak-anaknya agar memiliki akhlak yang baik. Keinginan belajar itu akan muncul dengan sendirinya,” katanya.
Mungkin karena itu pula, Fatimah lebih bersungguh-sungguh melakukan apa pun yang dikerjakannya. Selama kuliah dari S1 hingga S3, Fatimah tidak pernah memberatkan orang tua dengan biaya pendidikan. Dia menjadi asisten dosen, bekerja sebagai guru les, dan mengandalkan beasiswa.
Saat melanjutkan pendidikan doktoral, Fatimah bahkan memperoleh beasiswa The Habibie Center selama tiga tahun berturut-turut. Lembaga ini hanya memberikan beasiswa doktoral untuk satu orang saja selama setahun. Penerimanya harus memiliki prestasi dan kompetensi di bidangnya. “Saya benar-benar bersyukur,” kata Fatimah. Pola didik ayah ibunya itu pula yang ia turunkan kepada empat anaknya. “Pada dasarnya yang terpenting adalah akhlak. Urusan akademik anak-anak, saya serahkan pada sekolah,” kata ibu empat anak ini.
Fatimah meyakini kampus merupakan tempat pemben-tukan karakter mahasiswa untuk memasuki dunia kerja, bisnis, atau terjun ke masyarakat. Dia kerap mengingatkan rekan-rekannya di kampus bahwa, “Kita itu bukan hanya do-sen, kita pendidik,” katanya. Karena hal itu pula, Fatimah bersungguh-sungguh mendorong mahasiswa bimbingannya dalam proyek akhir mereka.
Fatimah pernah memanggil orang tua dari mahasiswa sarjana bimbingannya yang suka ‘menghilang’. Menurut Fatimah, mahasiswa ini suka menyendiri. “Teman-teman seangkatannya saja tidak tahu kenapa dia tidak bersemangat kuliah. Padahal, kalau tidak lulus tahun itu, dia drop out,” katanya.
Fatimah kemudian memanggil ibu mahasiswa itu. “Di depan ibunya yang jauh-jauh datang dari Jawa, saya marahi mahasiswa ini,” kata Fatimah. Ini dilakukan untuk membangkitkan semangat mahasiswa agar kembali kuliah. Mahasiswa itu akhirnya lulus. Itu pun setelah Fatimah memberi ultimatum terakhir. “Kalau saya Whatsapp, balas.”
Dalam menuntut ilmu atau bekerja, kata Fatimah, ada-lah sesuatu yang wajar jika seseorang merasa terjatuh. Namun, kata dia, semangat akan bangkit kembali dengan mengingat tujuan akhir yang ingin dicapai.
Hingga saat ini, Fatimah telah meluluskan 6 mahasiswa program sarjana, 16 mahasiswa magister, dan 6 mahasiswa program doktor. Fatimah juga sudah menerbitkan 120 makalah dalam bentuk jurnal ataupun prosiding baik internasional maupun nasional.
Di waktu luangnya, Fatimah lebih suka menghabiskan waktu di rumah. Dia senang berbenah, memasak, dan mencoba resep baru dari YouTube.