Profesor Erma Yulihastin: Dari Banjir Bandang Hingga ke Puncak Riset Iklim
ERMA Yulihastin (GM ’97) masih ingat benar banjir besar Bengawan Solo yang terjadi pada 1993.Saat itu menjelang tengah malam, suara air bergemuruh terdengar. Dinding rumah Erma di Desa Pringgoboyo, Kecamatan Maduran, Kabupaten Lamongan, jebol. “Saya seperti mematung menyaksikan air bah datang,” kata Erma menceritakan peristiwa itu kepada Alumnia, awal Mei lalu.
Erma bersama ayah dan saudara lelakinya selamat karena sempat mengevakuasi diri. Namun, mereka tak menyangka banjir bandang itu membawa pergi hampir semua isi rumah, menyisakan hanya atap.
Peringatan dini dari pengeras suara masjid akan kemungkinan banjir memang ada, tetapi baik Erma, ayahnya, maupun penduduk desa, tak ada yang menduga banjir yang terjadi akibat jebolnya tanggul Bengawan Solo bakal separah itu. “Saya kehilangan banyak foto ibu,” katanya. Banyak album foto miliknya hilang atau rusak akibat banjir. Ibu Erma meninggal beberapa bulan sebelum banjir bandang.
Tiga puluh satu tahun setelah peristiwa itu, Erma dilantik menjadi profesor riset BRIN bidang kepakaran iklim dan cuaca ekstrem. Ia sering menginformasikan peringatan dini cuaca ekstrem berdasarkan kepakarannya melalui media sosial X. Pengikutnya di akun @EYulihastin mencapai 36 ribu orang. Jika dulu toa masjid menyelamatkan nyawanya, kini Erma ingin menyelamatkan lebih banyak orang melalui media sosial X.
Erma berasal dari keluarga sederhana. Namun, hasratnya untuk belajar tak pernah sirna. Dia selalu menjadi murid di sekolah negeri terbaik di wilayahnya. Meski untuk itu, ia harus menempuh jarak jauh. Pada 1997, dia menjadi mahasiswa Geofisika dan Meteorologi ITB.
Sejak awal kuliah, Erma memang ingin menjadi peneliti. Akan tetapi, jalannya meraih cita-cita ternyata penuh liku. Setelah lulus sarjana, Erma menikah. Ia sempat mengirimkan beberapa CV ke lembaga-lembaga penelitian. “Zaman itu tak banyak lowongan peneliti,” katanya.
Panggilan CPNS untuk mengikuti tes terpusat justru datang sehari usai Erma melahirkan anak pertamanya. Namun, karena kondisi tubuhnya belum pulih, dia terpaksa melewatkan kesempatan itu dan berusaha mengikhlaskan diri. “Kalau memang takdirnya, insya Allah nanti ada kesempatan lagi,” katanya.
Kesempatan kedua menjadi peneliti diambilnya pada 2008. Mulanya, Erma mempelajari oseanografi. Tugas akhir sarjananya adalah tentang energi gelombang laut. Dia menghitung konversi energi gelombang laut dengan penanaman mangrove.
Dalam tesis magisternya di bidang sains atmosfer, dia meneliti tentang presipitasi banjir Jakarta tahun 2013. Erma menggabungkan kedua minatnya tersebut dengan fokus di bidang interaksi laut-atmosfer ketika menyelesaikan disertasi doktoral.
Penelitian doktoralnya menyoroti hubungan curah hujan di pesisir utara Jawa Barat dan kaitannya dengan fenomena atmosfer (Cross Equatorial Northerly Surge/CENS) dan laut (Pacific Cold Tongue/CT). “Ketika kedua fenomena tersebut digabung maka dapat ditelaah bagaimana proses modulasi hujan-hujan ekstrem yang ada di utara Jawa Barat menimbulkan banjir besar di Jakarta,” katanya.
Erma meneliti 52 sampel kejadian hujan ekstrem yang ditemukan pada dini hari. Ia melakukan simulasi model satu persatu untuk melihat proses hujan yang seharusnya terjadi di tengah laut, menjadi bergeser ke pesisir, sehingga menghasilkan fenomena hujan pesisir yang disebut hujan dini hari (Early Morning Precipitation/EMP).
Penelitian itu menunjukkan hujan dini hari sering terjadi pada Januari-Februari di utara Jakarta. Istilah EMP untuk
konteks Indonesia membuat Erma dikenal sebagai “doktor hujan dini hari” ketika penelitian itu diterbitkan di jurnal internasional.
Empat tahun setelah menjadi doktor, sebanyak 12 penelitian Erma diterbitkan di jurnal internasional. Pencapaian ini yang membawa Erma ke puncak kariernya dalam bidang riset. Erma dikukuhkan menjadi profesor riset pada 25 April 2024. Penelitiannya yang terkini menunjukkan skala cuaca ekstrem di Indonesia kian besar.
Erma tak menampik bahwa pencapaiannya dalam karier tak terlepas dari peran dua laki-laki dalam hidupnya. Suaminya adalah orang yang selalu mengingatkan cita-citanya untuk menjadi peneliti dan sistem pendukung yang sangat kuat. Sementara ayahnya selalu memberikan pendidikan yang setara untuk dia dan kakak laki-lakinya.
Ketika dia cemas harus merantau ke Bandung untuk kuliah, adalah pesan ayah yang membuatnya tetap percaya diri: “Ke mana pun kamu pergi tidak boleh takut, karena di mana pun yang kamu jejakkan adalah bumi Allah.”
Menurut Erma, keterwakilan perempuan di bidang sains secara global masih rendah, sehingga perempuan harus didukung dan ditumbuhkan rasa percaya dirinya. “Perempuan perlu diberi ruang, dipercaya untuk menduduki jabatan-jabatan agar menginspirasi lebih banyak perempuan lain,” kata ibu tiga anak ini.
Erma masih punya mimpi besar. Ia ingin membangun Pusat Studi Cuaca Ekstrem di Indonesia. “Indonesia merupakan pusat pembentukan awan dan hujan terbesar di dunia,” katanya. Akibatnya, Indonesia merupakan kawasan yang terkena dampak cuaca ekstrem terbesar pula.
Erma mencontohkan siklon tropis Seroja yang meng-akibatkan 181 korban jiwa pada 2021. “Kunci untuk mem-prediksi cuaca ekstrem itu adalah pemahaman terhadap kondisi maritim, terutama di Indonesia.”