TAK banyak orang yang dapat menjadi pakar, akademisi sekaligus praktisi, tetapi Profesor Kuntoro Mangkusubroto (TI ’65) salah satunya. Dia seorang dosen dan pendiri SBM-ITB. Dia pernah menjadi direktur utama di Bukit Asam, PT Timah hingga PLN. Dia juga Menteri Pertambangan di tengah pergolakan ekonomi dan politik pada 1998-1999.

Jasanya yang paling cemerlang adalah ketika dia memimpin Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) Aceh-Nias, pasca tsunami Samudra Hindia pada 2004. Saat itu sebanyak 227.898 jiwa meninggal dunia, dan ratusan ribu lainnya kehilangan rumah dan tempat tinggal.

Tugas merekonstruksi provinsi yang hancur dengan bantuan internasional sebesar US$ 655 juta sangatlah besar. Kuntoro yang pernah menjadi Menteri Energi di bawah Soeharto merasa beruntung bisa mengenali politikus korup yang menyedot dana pembangunan. “Dana bantuan untuk korban tsunami Aceh dan Nias dari APBN maupun negara donator telah disalurkan dengan efektif, tidak ada yang dikorupsi,” kata Kuntoro dalam pemaparan di Forum Parlemen Asia Pasifik seperti dikutip Antaranews pada 2006.

Dalam tiga bulan pertama, Kuntoro mengoordinasikan lebih dari 500 lembaga melalui rekonstruksi berta-hap. Mulai dari pembersihan awal hingga proyek infrastruktur skala besar. Di Aceh, lebih dari 140.000 rumah, 1.700 sekolah, hampir 1.000 gedung pemerintah, 36 bandara dan pelabuhan serta 3.700 kilometer jalan selesai dibangun pada akhir 2010, setahun setelah mandat BRR berakhir.

Rekonstruksi membuat kota ini jauh lebih unggul pasca tsunami The Guardian pada 2014 menulis bahwa Banda Aceh memiliki jalan yang mulus dan lebar, tempat sampah yang rapi di trotoar, serta pengelolaan sampah dan sistem drainase yang modern. Proses rekonstruksi ini dianggap sukses dan patut ditiru, namun bukan tanpa cela. Tapi, Kuntoro adalah orang pertama yang mengakui adanya segudang masalah.

“Kualitas bisa disanggah, angka bisa dibantah, tetapi Anda tidak bisa berdebat dengan saya soal konflik horizontal atau konflik sosial,” kata Kuntoro pada The Guardian pada 2013. “Tidak ada. Saya bangga sekali,” katanya sebelum bertolak ke Filipina bersama PBB untuk membantu pemulihan pasca Topan Haiyan.

Kesuksesan Aceh boleh jadi karena Kuntoro bukan hanya konseptor tetapi juga eksekutor yang hebat. “Beliau menguasai pemecahan permasalahan sejak konsep sampai detail teknis, bukan hanya berbusa-busa bicara konsep yang mengawang-ngawang,” kata Profesor Dermawan Wibisono, rekan dan sesama pendiri Sekolah Bisnis dan Manajemen (SBM) ITB dalam kolom obituari di Antaranews.

Dermawan Bersama Kuntoro mendirikan SBM ITB pada 2003 dengan konsep pengelolaan mandiri, yang berarti memiliki hak penuh pengelolaan keuangan dan perekrutan tenaga dosen dan pendidik. “Kun pernah mengatakan tak ingin di SBM terjadi rebleeding dengan rekrut dosen dari satu institusi saja. Bayangan Kun adalah 40% dosen dari dalam dan 60% dari luar negeri,” kata Dermawan.

Hasilnya, Kuntoro membawa SBM berkembang men-jadi sekolah bisnis nomor satu di Indonesia dan menda-patkan akreditasi internasional AACSB. “Hanya 6% sekolah di dunia yang bisa mendapatkannya,” kata Dermawan.

Kuntoro merupakan anggota Wanadri. Dia pernah menulis Rabuk Hujan Kabut, dalam buku Surat dari dan untuk Pemimpin (Tempo Institute, 2012). Dalam suratnya itu, dia berbagi pengalamannya pada 1969 sebelum dilantik menjadi anggota perhimpunan penempuh rimba dan pendaki gunung yang berbasis di Bandung itu.

Salah seorang kawannya, kata Kuntoro dalam surat-nya, menginjak bara dalam perjalanan dan lukanya kian parah. Kawan itu meminta untuk ditinggalkan karena tak mau menjadi beban kelompok. “Kami terbekap, diam terpaku, pandang-memandang, saling menanti respons. Saya sendiri terpekur, sedih, dan tentu saja terpukul,” Kuntoro menulis.

“Di tengah himpitan kalut yang amat itu, saya meme-cah keheningan, menyatakan sikap, ‘Teman-teman, apa pun yang terjadi, kita harus bersama-sama. Jika berhasil, berhasil bersama. Jika gagal pun, gagal bersama. Karena itu, saya tidak izinkan teman kita yang satu ini untuk gagal sendirian. Kita akan bantu ia berjalan, bagaimanapun caranya.’”

Perjalanan kian berat karena hujan atau kabut nyaris selalu menemani Kuntoro dan kelompoknya. Belakangan, Wanadri angkatannya disebut sebagai “Angkatan Hujan Kabut.” Kuntoro dan timnya tiba menjelang upacara pelantikan, “ini adalah buah dari perjuangan bersama.”

Erry Ryana Hardjapamekas, Wakil Ketua KPK 2003-2007 merupakan rekan Kuntoro sesama Wanadri. “Semangat anti-korupsi muncul dari dirinya sendiri,” kata Erry usai pemakaman. Wanadri adalah salah satu tim res-pons pertama yang sampai di Banda Aceh usai tsunami 2004 menghempas. Kuntoro dan Erry yang mengatur pemberangkatannya.