MULANYA Singgih Susilo Kartono (DP 86) takjub “ melihat sepeda bambu karya Craig Calfee dari Amerika Serikat. Material yang banyak tumbuh di desa ini dapat dibuat menjadi alat transportasi bernilai dengan desain yang baik. Sepeda inilah yang menginspirasi Singgih mengembangkan desain Spedagi.

Singgih melibatkan pemuda-pemuda di Desa Kandangan, Temanggung untuk memproduksi Spedagi. Dua tahun usai lulus dari ITB, Singgih kembali ke desa kelahirannya ini. Sejak 2013, sudah ada lima tipe sepeda yang diproduksi terbatas yaitu tipe dual track, road bike, joy bike, minivelo, dan gravel bike. Tipe terakhir digunakan Wisli dalam The Japanese Oddysey.

Produksi melibatkan 17 pemuda setempat untuk memproduksi 15 unit terbatas setiap bulannya. “Per-mintaan banyak yang masuk, saya tidak enak karena mereka menunggu terlalu lama,” kata Singgih kepada Alumnia, Januari lalu.

Karena itu, dia akan memproduksi tipe city bike untuk produksi massal. Singgih menyebutnya Goro, berasal dari kata Gotong Royong. “Dari sisi harga, Goro lebih terjangkau sekitar Rp 5 juta untuk full bike,” kata Singgih. Goro sudah digunakan sebagai kendaraan pelesir G20 dan Asean Summit. Rencananya Goro akan dirilis ulang pada April tahun ini.

Singgih menilai masyarakat desa sering merasa inferior dan sepeda bambu adalah metafora yang se-suai. “Sepeda bambu ini adalah contoh bagaimana material yang dianggap jelek itu bisa bergengsi.” katanya. “Sama dengan desa. Nlai-nilai desa itu yang harus kita revitalisasi.” Desa, kata dia, adalah masa depan dunia.

Baca artikel sebelumnya: https://alumnia.iaitbjakarta.id/2024/02/26/bersepeda-melintasi-jepang/