Wisli Sagara menempuh 2.700 kilometer dari Kagoshima menuju Hachinohe menggunakan sepeda bambu. Kisah petualangan mengeksplorasi Jepang seutuhnya.

Rasanya lebih tepat menyebut lereng gunung Sakurajima sebagai padang gersang. Kawasan yang puncak tertingginya mencapai 1.117 meter dari permukaan laut itu tandus, tertutup debu putih. Tidak ada satu tanaman pun yang bisa hidup dan tumbuh.

Di gunung ini, tidak pernah terasa hawa sejuk musim gu-gur. Sepanjang tahun, udara kering berhembus. Aroma bele-rang yang tertiup angin samar-samar menusuk hidung.

Sesekali terdengar letusan kecil, lalu abu vulkanik berta-buran. Sampai-sampai jarak pandang Wisli Sagara (KR ‘01) hanya tersisa 100 meter. Di ketinggian seperti ini dan medan yang terbilang curam—banyak jurang terjal, dia harus waspada manakala mengayuh sepeda. “Sedikit saja lengah, bisa celaka akibatnya,” kata Wisli kepada Alumnia, Desember lalu.

Gunung Sakurajima di prefektur Kagoshima itu merupakan gunung api kerucut (stratovolcanoes) yang paling aktif di Jepang. Sejak tahun 1914, gunung yang berlokasi di atas kaldera Aira itu kerap meletus tiba-tiba, menerbangkan abu vulkanik ke udara.

Gunung Sakurajima merupakan jalur yang dilintasi Wisli ketika mengikuti The Japanese Oddysey pada 24 November hingga 4 Desember 2023 lalu. Event bersepeda ketahanan (endurance) ini bukan perlombaan, tetapi perjalanan melin-tasi Jepang sejauh 2.700 kilometer dalam 12 hari.

Event ini unsupported, yang berarti begitu peserta me-lewati garis start, dia sendirian. Panitia hanya membekali GPS untuk mengecek posisi peserta. Peserta boleh makan, tidur, menyervis sepeda di mana pun, kapan pun. Tapi, tanpa bantuan atau dukungan yang telah diatur sebelumnya.

Peserta memulai perjalanan ini dari Kota Kagoshima, ko-ta paling Selatan dari Pulau Kyushu. Untuk mencapai garis finish di Kota Hachinohe di pulau Honshu, peserta dibebaskan mengatur rutenya masing-masing. Hanya saja, ada 8 segmen dan 7 checkpoint yang wajib dilintasi. Hutan lebat, jalan kecil penuh liku, jalur tanjakan tak berkesudahan dan kesendirian sejati menanti 57 peserta dari 15 negara.

Namun bagi Wisli, kondisi di Gunung Sakurajima yang ditempuh pada hari pertama itu yang paling di luar perkiraan. Untuk menempuhnya, Wisli harus bersepeda layaknya ninja, tertutup rapat dari ujung kepala hingga kaki.

Masker menutupi hidung dan mulutnya, kacamata sepeda melindungi pengelihatannya, helm sepeda terpasang. Tak ada bagian kulitnya yang terpapar udara langsung. Abu vulkanik bisa sangat berbahaya.

Ketika hendak turun dari gunung, Wisli terpana. Di sela-sela kabut dan abu vulkanik, dia melihat deretan kincir pembangkit listrik tenaga bayu berjejer dan berputar. Ini bukan kali terakhir Wisli melihat wind farm. Wisli melihat peman-dangan serupa di wilayah-wilayah lain sepanjang perjalan-annya. “Banyak di perbukitan dan lepas pantai,” katanya.

Setelah itu, segalanya jauh lebih mudah. Kadang kala Wisli harus menempuh jalan raya beraspal mulus di tengah kota. Saking mulusnya, pernah dia salah masuk ke jalan tol. “Kualitas aspal jalan tol dan aspal jalan arteri itu sama,” katanya.

Tapi di lain waktu, Wisli harus menempuh hutan lebat dengan jalanan kecil penuh kerikil tajam. Jalur tanjakannya juga menantang. Jika dihitung, total elevasi yang ditempuh Wisli mencapai 50 ribu meter. Wisli bersyukur selama 12 hari perjalanan itu, sepeda bambu yang dia gunakan tidak mengalami masalah berarti. “Hanya dua kali pecah ban,” katanya.

Wisli merupakan duta sepeda bambu. Selama beberapa tahun terakhir, ia selalu menggunakan sepeda bambu Spedagi karya Singgih Susilo Kartono (DP ‘86). Pada Presidensi G20 dan KTT Asean lalu, Wisli memperkenalkan sepeda bambu. Begitu pula pada Agustus tahun lalu, saat Wisli mengikuti event bersepeda ultra, Paris-Brest-Paris.

Paris-Brest–Paris merupakan event bersepeda yang sudah dimulai sejak 1819. Rute legendaris sepanjang 1.200 kilometer itu dituntaskan dengan menggunakan sepeda bambu tipe road (Dalanrata). Wisli menyelesaikan event itu dalam 87 jam, tiga jam lebih cepat dari batas waktu.

Tetapi untuk menempuh The Japanese Oddysey, dia meminta dibuatkan sepeda tipe baru sesuai dengan kebutuhan jalanan yang lebih tidak terduga. Spedagi lantas memproduksi tipe gravel (dalantrasah). Sepeda tipe ini akan diproduksi terbatas seperti empat tipe lain yang sudah ada.

Untuk mencapai Hachinohe tepat waktu, Wisli punya trik jitu. Setiap hari dia bersepeda setidaknya 250 kilometer. Wisli berangkat sebelum fajar menyingsing dan berhenti pukul 12.00 tengah malam.

Pernah dia berencana untuk mandi air hangat di kota Naruko, Distrik Tamatsukuri, Prefektur Miyagu. Sepanjang jalan, Wisli membayangkan berendam di kota yang terkenal dengan onsen alami ini. Ketika sampai di kota itu tengah malam, Wisli kebingungan. “Kotanya sepi sekali.”

Jangankan untuk mencari permandian air panas, mencari orang di jalanan untuk bertanya saja tidak ada. Syukurlah, malam itu Wisli bertemu dengan polisi yang tengah patroli. Kedua polisi itu sedang menyeruput kopi-nya di dalam mobil, ketika Wisli menghampiri.

Ternyata permandian di kota itu hanya buka sampai sore hari. Penginapan juga tak lagi menerima tamu selepas malam. Malam itu, Wisli menginap di sofa kantor polisi. Kedua polisi membekalinya sekantong onigiri, saat Wisli pamit esok paginya.

Pernah pula, Wisli terpaksa bermalam di garasi sepasang lansia. Ini terjadi di prefektur Yamanashi. Keramah tamahan lansia pemilik rumah tradisional itu begitu membekas. Wisli masih ingat bagaimana keduanya bukan hanya memberikan ruangan untuk beristirahat tetapi juga air hangat untuk mandi, “padahal waktu sudah menunjukkan tengah malam.”

Wisli tak fasih berbahasa Jepang. Ketika bertemu penduduk lokal, menanyakan arah atau mencari tempat menginap, dia mengandalkan terjemahan Google Translate dan bahasa isyarat. “Selain itu, modal saya sepatah dua patah bahasa Jepang yang umum, kayak Sayonara atau Arigatoo,” kata Wisli.

Selama perjalanan, Wisli lebih banyak sendiri. Namun, pernah juga dia bersepeda bersama sesama peserta ketika menuju Hiroshima. “Di tengah perjalanan, saya bertemu peserta dari Malaysia yang juga ingin ke sana.”

Saat itu, kebetulan ada perayaan untuk mengenang peristiwa pengeboman kota yang mengakhiri Perang Dunia Kedua. “Mereka mengheningkan cipta dan membu-nyikan lonceng perdamaian,” kata Wisli. Ketika meninggalkan kota, keduanya berpisah jalan.

Menurut Wisli, rute yang ditempuh selama 12 hari itu lebih banyak melintasi hutan dengan tanaman yang meranggas dan daun yang berubah warna. Wisli mencapai garis finish setengah hari lebih cepat dari batas yang ditentukan.

Perjalanan Wisli melintasi Jepang ini merupakan program kampanye “Kayuh untuk Bumi.” Kampanye untuk mengurangi emisi karbon penyebab krisis iklim dengan penggunaan kendaraan ramah lingkungan. Spedagi, Yayasan Bambu Lestari dan Pertamina mendukung kampanye ini

“Udara di Jepang jauh lebih bersih. Langitnya juga biru,” kata Wisli. Pernah dia melihat pelangi sempurna, “saya rasa itu karena Jepang minim polusi,” ujarnya.

Tak ada persiapan khusus sebelum menempuh perjalanan ini. Pria asal Bandung yang kini tinggal di desa Gubug, Tabanan, Bali telah lama menjadikan sepeda dan olahraga sebagai bagian hidupnya. Wisli yang masih aktif berkesenian itu juga mengelola bisnis tur sepeda lintas alam.

Maka tak heran jika tiga hari usai menuntaskan The Japanese Oddysey, Wisli sudah kembali ke atas pelana sepeda. Bersama kawan-kawannya yang berada di Jepang, Wisli bersepeda ke Gunung Fuji, gunung ikonik di negeri ini yang ketinggian puncaknya yang mencapai 3.776 meter.

Tapi kali ini, perjalanannya bersepeda di lereng Gunung Fuji tentu lebih rileks ketimbang perjalanan di Gunung Sakurajima. Setidaknya Wisli tak perlu berkostum ala ninja untuk melawan abu vulkanik, cukuplah pakaian bersepeda yang sesuai untuk menghalau suhu dingin musim gugur.