Ancaman Kemunduran Demokrasi di Jakarta
DPR menggodok Rancangan Undang-Undang (RUU) Daerah Khusus Jakarta. Menuai kritikan.
“NOMORNYA nomor satu, gubernurnya Adang dan Dani. Jangan lupa pilih nomor satu, yang nomor dua dibuang aja!”plesetan dari lagu Cucak Rowo yang dipopulerkan Didi Kempot itu ramai diucapkan tim Adang Daradjatun-Dani Anwar saat kampanye pemilihan kepala daerah (pilkada) di Jakarta, pada Juli 2007. Lawan Adang-Dani, Fauzi Bowo-Prijanto, punya andalan pantun. “Kacang buncis pake keju, pilih yang berkumis Jakarta maju.”
Pilkada Jakarta yang berlangsung 17 tahun lalu itu menarik bukan karena plesetan lagu atau pantunnya. Peristiwa itu merupakan titik sejarah penting demokrasi di Indonesia. Pertama kalinya Indonesia menggelar pemilihan gubernur dan wakil gubernur secara langsung. Pada saat itu, Foke-Prijanto yang didukung 19 partai menang dengan 57,9% suara. Adang-Dani yang mendapat dukungan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) meraup 42,1% suara.
Hajatan politik itu bukan hanya menjadi sorotan warga lokal dan nasional, tapi juga dunia internasional. The New York Times menyebut pilkada di Jakarta itu sebagai gelombang baru demokrasi setelah Indonesia bebas dari pemerintahan diktator Presiden Soeharto selama 32 tahun. Pilkada itu berselang lima tahun setelah rakyat memilih langsung presiden dan wakil presiden pertama kalinya pada 2004.
Pilkada di Jakarta ini diikuti pemilihan serupa di daerah lain. Kesuksesan Jakarta menggelar pemilu menjadi barometer demokrasi di Indonesia. Menang di Pilkada DKI Jakarta berarti mendapat tempat khusus dalam kancah perpolitikan nasional.
Meski pilkada langsung menjadi simbol demokrasi, sebagian elit politik berpandangan berbeda. Pada awal Desember, mereka menyepakati draf Rancangan Undang-Undang Daerah Khusus Jakarta atau dikenal RUU DKJ menjadi beleid inisiatif dalam Rapat Paripurna. Draf RUU DKJ ini menghapus mekanisme pemilihan gubernur dan wakilnya lewat pilkada langsung. Nantinya, presiden yang berkuasa menunjuk langsung.
“Gubernur dan wakil gubernur ditunjuk, diangkat, dan diberhentikan oleh presiden dengan memperhatikan usul atau pendapat DPRD” bunyi Pasal 10 ayat (2) RUU DKJ. Regulasi itu akan mencabut status ibu kota negara dari Jakarta, sebagai tindak lanjut dari berlakunya UU Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara. Saat pengambilan Keputusan di Paripurna, hanya Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang menolak draft RUU tersebut.
Alasan elit politik mengusulkan penghapusan pi kada demi mengurangi pengeluaran anggaran. “Pengalaman DKI Jakarta membutuhkan biaya yang cukup mahal karena Pilkadanya harus 50% plus satu,” kata Wakil Ketua Baleg DPR Achmad Baidowi di Kompleks
Baidowi menyebut anggaran yang besar itu lebih baik dialihkan untuk pembangunan lain. ”Karena dengan status non-Ibu Kota itu nanti situasinya pasti berbeda,” kata Baidowi. Penghapusan mekanisme pemilihan langsung ini menimbulkan banyak reaksi negatif. Kalangan akademisi dan aktivis khawatir, ketentuan ini bakal membuat kemunduran demokrasi di Tanah Air.
Kewenangan presiden menunjuk langsung gubernur dan wakil gubernur itu serupa dengan mekanisme yang berlaku saat masa Orde Baru. “Usulan ini suatu kemunduran demokrasi,” kata Direktur Eksekutif Indonesian Presidential Studies (IPS), Nyarwi Ahmad kepada Alumnia pada Januari 2024.
Nyarwi menolak alasan penghapusan pilkada demi semata kepentingan birokrasi seperti penghematan anggaran. “Demokrasi itu bukan sekedar birokrasi, tapi intinya berjalannya representasi dan partisipasi masyarakat,” kata Nyarwi.
Dosen Komunikasi Politik di Universitas Gadjah Mada (UGM) itu mengkritik para elit politik yang mewacanakan penghapusan Pilkada seperti hendak memotong hak demokrasi rakyat. “Kuasa rakyat terpotong besar sekali. Seharusnya diadakan dulu referendum atau pemungutan suara apakah setuju penghapusan pilkada atau tidak,” kata dia.
Nyarwi menilai pembahasan wacana penghapusan pilkada di parlemen akan bergantung peta kekuatan partai politik yang berkoalisi dengan rezim yang berkuasa. “Penunjukan gubernur dan wakil gubernur tentu saja bakal menguntungkan rezim yang berkuasa,” kata dia.
Pakar Hukum Tata Negara Universitas Andalas, Feri Amsari mengingatkan Pasal 18 ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 mengatur pemilihan gubernur, bupati dan walikota dipilih secara demokratis. “Aturan yang menghapus pilkada ini melanggar UUD 1945,” ujarnya ke Alumnia, Desember lalu.
Dia juga mengkritik pembahasan RUU DKJ yang tanpa melibatkan partisipasi masyarakat secara luas. Padahal, Undang-Undang 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan menyaratkan proses pembuatan UU harus transparan atau terbuka.
Feri mengusulkan penundaan pembahasan RUU DKJ karena substansinya penuh kontroversi. Dia mengkhawatirkan pembahasannya menjadi politis di tengah isu santer dinasti politik. Isu dinasti politik menguat setelah Gibran Rakabuming mendapat karpet merah menjadi calon wakil presiden lewat putusan MK. “Tidak usah membahas UU yang tidak mendesak dan politis di tahun politik,” kata dia.