Kecerdasan buatan (AI) ibarat pedang bermata dua. Di satu sisi, ia bisa mengancam demokrasi. Dengan sejumlah tools seperti Large Language Models (LLM) atau mesin pencari, dia bisa menyebarkan disinformasi, apalagi AI bisa dilatih untuk kampanye yang ditargetkan. Tetapi AI juga punya sisi positif untuk demokrasi. Setidaknya itu sudah dilakukan di sejumlah negara.

1. Prancis

Prancis menggunakan platform kecerdasan buatan CitizenLab untuk mengumpulkan pendapat warga tentang berbagai isu. Pada 2019, Komune di pinggiran Barat Paris, Rueil-Malmaison mengundang penduduk berusia 16 tahun ke atas untuk mengajukan proyek inovatif dengan biaya partisipatif €200,000. Syaratnya, proyek harus didedikasikan untuk kepentingan umum.

Lebih dari 30.000 kunjungan terdaftar di platform ini, dan 156 ide berhasil lolos dari pemeriksaan awal. Ada 8 ide yang memenangkan proyek ini, salah satu-nya pemasangan lampu LED smart city dengan pende- teksi kehadiran.

Ketika pandemi, kunjungan ke platform ini melonjak. Terutama sebagai jaringan komunikasi. Setidaknya 30 ribu masker dan lebih dari 6 ribu keranjang makanan dikumpulkan untuk dibagikan kepada keluarga yang membutuhkan.

Rueil menunjukkan AI dapat melampaui niat awalnya dan menjadi penghubung masyarakat saat diper- lukan. Sejak pandemi usai, sejumlah proyek baru telah diluncurkan.

2. Selandia Baru

SAM adalah politikus virtual pertama dari Selandia Baru. SAM dapat menganalisis data historis, peristiwa terkini, dan masukan pengguna, politikus virtual ini memberikan wawasan dan solusi po- tensial untuk masalah-masalah mendesak. “Keputusan” SAM didasarkan pada data dan algoritma, bukan berdasarkan emosi sehingga keputusan yang dihasilkan diharapkan tidak memihak.

Secara teori, SAM dapat mengambil keputusan de- mi kepentingan mayoritas. Objektivitas ini diharapkan dapat mengesampingkan keuntungan politik jangka pendek ke manfaat sosial jangka panjang. SAM merupakan gagasan Nick Gerritsen, pengusaha 49 tahun. SAM dirilis pada 2022 untuk memproses Big Data agar mampu menghasilkan respon terhadap pertanyaan publik.

3. Brazil

Brazil memiliki Rosie, kecerdasan buatan yang digunakan untuk menganalisis pengeluaran anggota kongres. Berawal dari data penggantian biaya terkait pekerjaan dan perjalanan anggota kongres yang tak selalu akurat. Setiap bulan ada 20.000 data yang masuk. Rosie menyaring data dan menandai pengeluaran yang ‘mencurigakan’ lantas mencuit temuan itu ke platform X.

Ia mengajak warganet untuk menilainya dan men- dorong anggota kongres menjelaskan pengeluaran itu. Rosie tidak bekerja sendirian. Dia dibantu Jarbas, situs web dan pemrograman aplikasi antar muka yang membantu warga menelusuri data.

Bersama-sama Rosie dan Jarbas membantu masya- rakat menafsirkan data untuk memutuskan apakah ada penyalahgunaan dana publik. Rosie sangat pandai mendeteksi makanan mahal. Sejak Rosie diperkenalkan, anggota Kongres mengu- rangi pengeluaran makanan sekitar sepuluh persen.

4. Estonia

Mitologi kuno Estonia menyebut Kratt sebagai makhluk gaib yang bisa melakukan berbagai hal. Kesamaan makhluk ini dengan teknologi AI membuat Estonia memberi nama “Kratt” untuk tugas baru AI di zaman modern. Estonia memiliki Hukum Kratt, yaitu undang- undang pertanggungjawaban algoritmik yang mengatur penggunaan AI untuk sektor publik dan swasta.

AI antara lain dipakai Otoritas Sistem Informasi untuk mendeteksi anomali dan insiden lalu lintas. Analisis prediktif juga menggunakan AI untuk memutuskan ke mana harus mengirim polisi lalu lintas. AI juga digunakan untuk mencocokkan pencari kerja dengan lowongan yang tersedia dan mengembangkan algoritma pembuatan profil pencari kerja saat ini. Estonia tengah melatih HANS, sistem AI di parlemen agar bisa mengenali suara saat sidang paripurna, sehingga transkrip jalannya si- dang lebih efisien dan akurat.