Media Konvensional, Media Sosial dan Netralitas Pemilu 2024
Oleh :Jalu P. Priambodo (TI ‘02, SP ‘08)
Komisioner KPID Jawa Barat, Ketua MPW Pemuda ICMI Jawa Barat, Ketua IA ITB Jawa Barat
BANYAK yang mungkin belum menyadari, ruang siaran termasuk ruang publik. Jürgen Habermas (1988) menyebutkan kriteria ruang publik sebagai sarana pembentukan opini publik di mana publik mudah mengakses dan berkomunikasi secara bebas tanpa intervensi pemerintah. Pemerintah menjamin penyiaran sebagai ruang publik yang ditegaskan dalam UU Nomor 32 tahun 2002.
Penegasan tersebut menunjukkan bahwa pemilik stasiun radio dan televisi tidak bisa menggunakan frekuensi dengan siaran yang hanya memenuhi kepentingan pribadi atau golongan saja. Pada hakikatnya, lembaga penyiaran hanya “meminjam” frekuensi milik publik. Di sinilah kewenangan KPI berada, untuk mengatur dan mengawasi konten siaran agar sesuai dengan kepentingan publik.
KPI menetapkan Pedoman Perilaku Penyiaran (P3) serta menyusun Standar Program Siaran (SPS) sebagai sebuah aturan main yang perlu ditaati oleh seluruh lembaga penyiaran. Pedoman Perilaku Penyiaran menegas- kan kembali kewajiban lembaga penyiaran untuk melayani kepentingan publik sesuai dengan pasal 11 yang berbunyi; (1) Lembaga penyiaran wajib memperhatikan kemanfaatan dan perlindungan untuk kepentingan publik. (2) Lembaga penyiaran wajib menjaga independensi dan netralitas isi siaran dalam setiap program siaran.
Aturan ini menjadi landasan kewajiban setiap lembaga penyiaran untuk menjaga netralitas, termasuk siaran Pemilu. Terlepas dari adanya realitas kepemilikan media yang beririsan dengan dukungan politik tertentu, siaran harus tetap dijaga netralitasnya.
Media berperan besar dalam menjaga iklim demokrasi. Edmund Burke, politisi Inggris di abad ke-18 adalah yang pertama kali menyebut pers sebagai pilar keempat demokrasi. Istilah itu merujuk peran media sebagai penyeimbang kekuasaan negara, selain lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif serta sebagai penampung aspirasi publik. Hingga sekarang, kehadiran media dan pers yang bebas seringkali menjadi parameter sebuah negara bisa digolongkan sebagai negara demokrasi.
Akan tetapi, media juga diakui tidak bisa lepas seluruhnya dari unsur-unsur yang mempengaruhi indepen- densinya. Herman dan Chomsky (1988) dalam bukunya, “Manufacturing Consent: The Political Economy of Mass Media” menguraikan adanya saringan redaksi dalam mengolah berita yang dikenal sebagai model propaganda.
Beberapa unsur tersebut berasal dari : Faktor pemilik dan orientasi profit, dorongan pengiklan, dekatnya akses terhadap sumber berita, flak atau desakan dari pemirsa atau kelompok kepentingan. Propaganda juga bisa terjadi karena adanya wacana besar yang yang memaksa keberpihakan seperti kampanye anti komunis atau anti terorisme.
Adanya unsur model propaganda ini membuat media tak bisa lepas dari keberpihakan. Tetapi, masih ada upaya untuk menjaga objektivitas serta netralitas media melalui penerapan kode etik jurnalistik. Salah satunya melalui Dewan Pers untuk media secara umum dan KPI untuk media penyiaran.
Jelang Pemilu 2024, KPI juga mengeluarkan Peratur- an KPI No 4 Tahun 2023 tentang Pengawasan Pemberitaan, Penyiaran dan Iklan Kampanye Pemilu pada Lembaga Penyiaran sebagai pelengkap aturan P3 dan SPS. Beberapa poin aturan penting yang perlu diperhatikan di antaranya :
Pertama, kewajiban bagi lembaga penyiaran untuk memberikan kesempatan yang sama kepada seluruh peserta pemilu. Lembaga penyiaran tidak boleh hanya memberi kesempatan kepada salah satu peserta pemilu saja, melainkan kesempatan yang sama bagi semua. Hal ini bisa dibuktikan dengan memberi slot iklan yang sama, maupun menyediakan jurnalis yang meliput setiap peserta pemilu.
Kedua, larangan bagi lembaga penyiaran untuk menjual program siaran kepada peserta pemilu kecuali dalam bentuk iklan. Dalam hal ini, peserta pemilu tidak bisa membeli program tertentu agar berpihak kepadanya. Lembaga penyiaran juga tidak diperbolehkan menjual waktu siar (blocking time) kepada peserta pemilu tertentu. Peserta pemilu hanya dapat membeli iklan yang jatahnya juga sudah dibatasi waktunya untuk masing-masing peserta pemilu.
Ketiga, kewajiban bagi lembaga penyiaran untuk mengambil berita terkait pemilu dari sumber yang benar dan akurat. Hal ini bertujuan untuk mencegah beredarnya informasi hoax. Setiap lembaga penyiaran harus dapat mempertanggungjawabkan sumber beritanya merupakan sumber yang terpercaya dan bukan mengambil berita dari sumber yang tidak jelas kredibilitasnya.
Keempat, kewajiban bagi lembaga penyiaran untuk memperhatikan norma yang berlaku di masyarakat dalam menayangkan iklan kampanye pemilu. P3SPS yang diterbitkan oleh KPI pada dasarnya telah mengatur banyak norma yang perlu dipatuhi oleh program siaran, termasuk iklan politik. Beberapa norma seperti perlindungan terhadap SARA, norma kesopanan, larangan kekerasan, makian, adegan mesum atau seksual, serta lain sebagainya. KPI bahkan mendorong lembaga penyiaran mendapatkan Surat Tanda Lulus Sensor yang diterbitkan oleh Lembaga Sensor Film agar menjamin isi iklan tidak melanggar norma.
Dalam menegakkan aturan yang dibuatnya, KPI memiliki beberapa perangkat mulai dari sanksi teguran tertulis, sanksi denda administratif hingga sanksi penghentian siaran. KPI dalam sejarahnya pernah melakukan penindakan seperti meminta dihentikannya iklan partai politik yang menying- gung SARA di Pemilu 2019, serta memberi sanksi kepada lembaga penyiaran yang terbukti menjual blocking time untuk menyiarkan acara partai politik.
Kini tantangan baru Pemilu 2024 berada di ranah media sosial. Popularitas media sosial serta lembaga siaran non- konvensional seperti saluran YouTube, Netflix dan Tiktok sebagai sebagai layanan over the top semakin mempengaruhi opini publik di era digital saat ini. Sayangnya kewenangan untuk mengatur media sosial dan layanan siaran over the top belum dimiliki oleh KPI. Kewenangan itu masih dimiliki Kominfo dan kepolisian sesuai UU ITE.
Media sosial di kini sering disebut sebagai pilar kelima demokrasi. Media sosial merupakan alternatif lain dari media konvensional yang terbelenggu kepentingan bisnis dan aspirasi politik pemiliknya. Media sosial terbukti mampu menjadi kekuatan yang menggerakkan publik dalam menyampaikan protes kepada pemerintah, seperti yang terjadi di Hongkong, Thailand dan Mesir.
Namun, bukan berarti media sosial bebas dari permasalahan. Menurut Litbang Kompas, dalam survey yang dilakukan pada Mei 2022, problem yang dihadapi media sosial dalam menghadapi tahun pemilu juga cukup beragam. Mulai dari hoax yang bertebaran hingga kehadiran buzzer politik. Kedua hal tersebut dipandang mayoritas responden sebagai penyebab utama polarisasi politik di masyarakat.
Media sosial juga tidak lepas dari pengaruh kepentingan pemiliknya. Kasus sensor yang dilakukan Meta, misalnya. Meta yang merupakan induk dari Facebook, Threads dan Instagram menghapus konten media sosial yang memihak Palestina dalam konflik Israel-Palestina di tahun 2023.
Kehadiran lembaga penyiaran konvensional justru saat ini dapat menjadi harapan publik dalam menghadapi gencarnya berita bohong di media sosial. Lembaga Penyiaran memiliki jurnalis kredibel dapat membantu masyarakat melakukan sortir dan klarifikasi terhadap berita bohong.
Pasca debat capres/cawapres misalnya, sejumlah media langsung mengecek fakta terhadap klaim data maupun janji kampanye yang diutarakan calon Presiden dan Wakil Presiden. Survei yang dilakukan Dewan Pers pada tahun 2019 menunjukkan bahwa Surat Kabar masih menjadi media yang dipercaya 83,44 persen responden diikuti oleh radio (82,25%), televisi (78,24%). Angka ini jauh diatas tingkat kepercayaan publik terhadap berita yang berasal dari media sosial seperti Facebook (64%), Instagram (71,2%) dan Twitter/X (71,8%).
Akhirnya, publik dan pemilih tetap menjadi penentu kualitas demokrasi suatu bangsa. Kemampuan literasi publik dalam membedakan informasi yang benar, informasi yang dimanipulasi, propaganda, fitnah atau hoax sangat menentukan. Karena dari sanalah publik dapat menilai kualitas sesungguhnya dari para calon pemimpin yang akan dipilihnya di Pemilu 2024.