RIUH MEDIA SOSIAL DI TAHUN POLITIK
Pemilu 2024 didominasi oleh para pemilih muda. Media sosial menjadi salah satu kunci kemenangan
MARKAS relawan di Jalan Antasari, Jakarta Selatan ramai setiap hari Minggu. Ratusan ibu-ibu muda hingga paruh baya yang tergabung dalam relawan PresGan menggelar senam pagi bersama. Usai senam, mereka berlatih menggunakan media sosial. “Kami sudah memulai ide-ide Pak Ganjar tentang pembentukan inkubator media sosial. Dimulai dengan mengajarkan ibu-ibu cara mengecek informasi pemilu: hoaks atau bukan,” kata Alfati Nova (FI ’02) , Ketua PresGan kepada Alumnia, pada akhir November lalu.
PresGan memfokuskan gerakannya untuk menjaring suara pemilih muda. “Pemilu kali ini mayoritas suara orang muda. Pemilih urban juga lebih banyak dibanding yang ting- gal di desa,” kata Nova. Menurut dia, pemilih muda tidak menyukai politik vulgar.
“Mereka tidak mau berkumpul di lapangan. Aksi tagar, aksi twibbon, sesuatu yang baru berbasis media sosial dan teknologi justru menarik bagi mereka,” kata Nova. Karena itu, Nova mengolaborasikan jaringannya dengan para senior. “Konten di media sosial muda-muda, tetapi kalau aksi-aksi lapangan yang senior tetap lebih banyak.”PresGan mengelola akun Instagram dan Tiktok.
Pemilu 2024 merupakan pemilu anak muda. Lebih dari 116,5 juta atau 56% suara Pemilu 2024 berasal dari generasi milenial dan generasi Z. Kegemaran anak muda terhadap gawai dan media sosial menjadi jalan praktis tim sukses untuk mempopulerkan calon presiden. Tetapi, populer saja tidak cukup. Untuk mendongkrak elektabilitas, capres juga harus memperoleh sentimen positif.
Berdasarkan data We Are Social 2023, sebanyak 167 juta penduduk Indonesia merupakan pengguna media sosial. Sebanyak 79,3% dari jumlah itu merupakan pemilih muda. Mereka rata-rata menghabiskan 3 jam 18 menit un- tuk berselancar di berbagai platform media sosial.
Pada awal masa kampanye November lalu, media sosial mulai riuh dengan konten kampanye pemilu. Dari gimmick joget gemoy Prabowo, slepet sarung Anies dan Cak Imin sampai salam tiga jari ala Hunger Games dari pendukung Ganjar-Mahfud. Ketiga pasangan calon berupaya menem- patkan pondasinya di media sosial.
Kampanye melalui media sosial bukan hal baru. Joko Widodo pertama kali melakukannya pada 2012. Dukungan dari Jasmev—Jokowi Ahok Social Media Volunteers sukses mengantarkan Jokowi memenangkan kursi Gubernur DKI Jakarta pada masa itu.
Jokowi didukung tim media sosial yang luar biasa. Dampaknya, dia menjadi sangat disukai publik. Opini publik tentang Jokowi yang dibangun di media sosial adalah orang yang baik dan sederhana,” kata Ismail Fahmi (EL ’92), pendiri Drone Emprit, awal Desember lalu.
Drone Emprit merupakan sistem untuk memantau dan menganalisa percakapan di media sosial dan platform daring yang berbasis teknologi big data. Berdasarkan data sistem ini, percakapan politik di platform X—dulu Twitter didominasi oleh pembicaraan tentang Joko Widodo pada2012.
Tren ini berlanjut pada Pemilu 2014 dan Pemilu 2019. Bedanya, pada pemilu 2014 dan Pemilu 2019, tren percakapan lebih meluas. Isu-isu, trending topic dan pembicaraan tidak hanya dikuasai oleh satu kelompok saja. Walaupun, “kelompok pro-Joko Widodo tetap menjadi klaster terbesar,” kata Ismail.
Fakta ini kemudian menjadi sebuah jargon di kalangan konsultan politik, “menang di media sosial, menang di bilik suara.”
Itu sebabnya peran buzzer menjadi penting dalam percakapan politik. Buzzer bisa mendorong tumbuhnya sentimen, baik positif maupun negatif. Centre for Innovation Policy and Governance mendeskripsikan buzzer sebagai individu yang memiliki kemampuan amplifikasi pesan dengan cara menarik perhatian yang bergerak de- ngan motif tertentu. Buzzer bisa terorganisir dan berbayar, namun bisa pula bergerak secara organik.
Kampanye positif, kampanye negatif hingga kampanye hitam yang beredar di media sosial tidak terlepas da- ri peran buzzer. “Kampanye hitam itu hoaks, harus diklarifikasi,” kata Deddy Rahman (FT ‘90), pendiri Katapedia, sebuah lembaga pemantau jejaring media sosial. Deddy pernah menjadi konsultan media sosial untuk Jokowi pada 2012, juga untuk Anies-Sandi pada 2017.
Salah satu cara menangkal ratusan kampanye hitam, kata Deddy, adalah mengumpulkan hoaks dalam satu situs web untuk diklarifikasi, kemudian dibagikan. Pada saat Pilkada Jakarta 2017, tim Anies-Sandi menggunakan situs fitnahlagi.com untuk mengklarifikasi hoaks.
Sejak Januari 2024, situs web ini kembali aktif untuk menangkal informasi palsu pasangan calon nomor 1. Cara Lainnya,“menjawabnya receh-receh saja, lewat video. Anak muda suka,” kata Deddy.
Yang lebih susah, kata Deddy, adalah menghadapi kampanye negatif, kampanye tentang “sesuatu yang benar namun mendegradasi elektabilitas.” Untuk mengakalinya, tim kampanye media sosial perlu cerdik mengendalikan isu tersebut.
***
PADA awal Desember 2023, data Drone Emprit menunjukkan bahwa percakapan pro-Prabowo Subianto di platform X jauh lebih kecil ketimbang percakapan pro-Ganjar Pranowo dan pro-Anies Baswedan. Sejumlah percakapan pendukung Prabowo juga tampak terpisah dari inti dari percakapan. Hal ini kontras dengan hasil survei semua Lembaga survei yang menempatkan popularitas dan elektabilitas Prabowo di nomor satu.
Mengapa? Selamat datang di era Tiktok. Platform ber- bagi video singkat dengan musik dan aneka fitur yang di- luncurkan pada akhir 2016 ini menjadi media sosial favo- rit bagi generasi Z. Di Indonesia, kegandrungan pengguna terhadap Tiktok tumbuh pesat pada saat Pandemi.
“Pengguna X tidak sebanyak Instagram dan Tiktok,” kata Ismail. “Kalau dihitung semua engagement di berbagai platform bisa jadi Prabowo yang paling tinggi,” kata Ismail. Pencarian sekilas berkata kunci “Prabowo” di Tik- tok, pada pertengahan Januari 2024 menunjukkan video– video Prabowo berjoget. Capres nomor 2 itu kerap berjoget gemoy sejak masa kampanye terbatas dimulai. Jumlah penonton dari video–video ini mencapai jutaan.
Sementara untuk kata kunci “Anies” dan “Ganjar,” video yang ditampilkan lebih beragam. Jumlah penonton- nya ada yang mencapai jutaan, tetapi sebagian besar masih ratusan ribu. Uniknya lagi, hanya Prabowo yang tidak memiliki akun resmi dalam Tiktok.
Potensi Tiktok sebagai pengerek suara ini dilirik oleh Anies dan Ganjar. Anies mulai live Tiktok pada akhir Desember lalu. Kemudian potongan-potongan videonya viral sebagai Abah Nasional. Aksinya itu disambut positif oleh Gen Z khususnya K-Poppers yang mempopulerkan Anies layaknya idola K-Pop dengan nama Park Ahn Nice.
Ganjar aktif di Tiktok lebih awal. Akun resmi Tiktok- nya memiliki 7,2 juta pengikut, kontras dibandingkan Anies yang hanya 1,2 juta. Aktivitas Ganjar berbincang dan menginap di rumah-rumah warga mengisi konten di Tiktok dan platform media sosial lainnya. “Dari tiga paslon, Ganjar yang bisa merangkul kelompok bawah secara alamiah,” kata Deddy. Mahfud, cawapres Ganjar juga be- lakangan ikut menyapa lewat siaran langsung Tiktok.
Hotasi Nababan (SI ’83), Wakil Sekretaris Jenderal Tim Pemenangan Nasional Ganjar-Mahfud tak menampik bahwa media sosial menjadi alat kampanye yang praktis untuk menjangkau pemilih muda. “Juru kampanye media sosial dan influencer harus anak muda,” kata Hotasi. Isu- isu penting seperti rencana membuka 17 juta lapangan kerja dalam 5 tahun, termasuk kebijakan mempermudah perumahan perlu disampaikan.
Strategi kampanye untuk pemilih muda juga khas. “Pemilih yang usianya di bawah 40 tahun enggak akan terpengaruh hasutan ekstrem, seperti bahaya komunis atau radikalisme,” kata Hanief Adrian (PL ’03), Sekretaris Jenderal Relawan Muda Prabowo-Gibran (RMPG). Menurut dia, pemilih muda hanya tertarik dengan pembicaraan tentang diri mereka saja. Sehingga, kampanye makan dan susu gratis di sekolah lebih mengena.
RMPG lebih banyak bergerak melalui seminar dan pertemuan di kampus. “Intinya menggalang pikiran-pikiran utama Prabowo-Gibran: big push economy,” kata Fariz Ariyadi (FI ’02), Bendahara RMPG.
Nova juga menekankan bahwa aksi lapangan tak bo- leh kendor. “Basis pemilih PDI Perjuangan itu grassroot. Persoalan elite selesai, pasti jadi dari bawah,” kata dia. Dia yakin kantong suara partai merah yang ada di Jawa tengah, Jawa Barat bagian Pantura dan sebagian Jawa Timur tetap loyal. Begitu pula di Sumatera bagian tengah dan Kalimantan Barat. Suara swing voters yang menjadi incaran Nova. “Biar pun sekitar 10%, peta elektoral bisa berubah,” katanya.
Herry Dermawan (PN ’06), Sekretaris Deputi Terito- rial Pemenangan Timnas AMIN membenarkan besarnya potensi swing voters. Tetapi, timnas juga mengincar suara undecided voters yang menurut Litbang Kompas (terbitan 11/12/2023) jumlahnya mencapai 28,7%. Berbeda de- ngan swing voters yang dapat berubah pilihan menjelang hari pencoblosan, undecided voters adalah orang-orang yang menyembunyikan pilihan atau benar-benar belum punya pilihan kandidat. “Biasanya dari kelas menengah kritis,” kata Herry.
Menjelang hari pemilihan, timnas AMIN kian gesit memperbanyak agenda Desak Anies. “Format Desak Anies ini kampanye model baru di tanah air. Di sini pe- serta bebas bertanya apa pun, termasuk topik yang sen- sitif,” kata Herry. Anies, kata dia, menempatkan pemilih sebagai subjek, bukan sebagai objek, sehingga interaksi yang terbangun lebih otentik. Potongan rekaman Desak Anies di pelbagai daerah itulah yang menjadi konten kampanye di berbagai platform media sosial.
Jumhur Hidayat (FT ’86), Co-Captain Timnas AMIN yakin bahwa generasi milenial dan generasi Z cerdas. “Anak muda akan memilih orang yang bisa memberikan gambaran masa depan, bukan pemimpin muda yang kar- bitan. Mereka akan memilih orang yang mengerti perso- alan minimnya lapangan kerja–yang jika tidak diantisipasi akan menimbulkan bencana demografi. Anies itu semua- nya science-based,” kata Jumhur.
Namun, menurut Deddy, tim sukses sebaiknya tidak usah terlalu fokus menggarap pemilih dari generasi Z. “Fokuslah pada generasi yang sudah hidup mandiri dan menghadapi kesulitan hidup,”kata Deddy merujuk pada generasi X dan milenial.
Menurut dia, selama seseorang masih kuliah, hidup- nya masih ditopang oleh orang tua, pilihan politiknya akan diatur oleh orang tua. “Generasi Baby Boomers itu sudah punya pilihan politik yang kuat. Mereka juru kampanye yang hebat di keluarganya,” kata Deddy.
Sebelum 2015, memonitor percakapan pemilu meru- pakan hal yang mudah. “Dulu monitoring paling banyak menggunakan Facebook dan Instagram,” kata Deddy. Namun, kini aturan pengumpulan data media sosial kian ketat sehingga beberapa data tidak bisa ditarik. Platform X menjadi satu-satunya pilihan untuk memantau percakap- an dan menggambarkan secara tepat kondisi lapangan.Ismail membenarkan. “Kami sudah tidak bisa meng- ambil data yang sifatnya populasi di Facebook atau Instagram,” katanya. Tetapi, kata Ismail, media sosial masih menjadi arena pertarungan para buzzer untuk merebut kemenangan, terutama di X.