PEMILIHAN Presiden yang digelar berbarengan dengan pemilihan legislatif pada 14 Februari 2024 membuat Deddy Rahman (FT ‘90) harus membagi waktu- nya lebih ekstra. Selama beberapa bulan terakhir, jadwal siang hingga malamnya diisi dengan konsultasi daring de- ngan enam calon legislatif, dua calon wali kota dan satu gubernur yang tersebar di berbagai wilayah Indonesia.

Sejak 2012, Deddy Rahman telah menjadi konsultan Pemilu di Indonesia. Dia pernah menjadi konsultan Big Data Jokowi-Ahok dalam Pilgub DKI Jakarta (2012), Soe- karwo untuk Pilgub Jawa Timur dan Alex Nurdin di Pil- gub Sumsel (2013). Dia juga menjadi konsultan kampa- nye digital untuk Anies-Sandi dalam Pilgub DKI Jakarta (2017) dan untuk Gembong Primadjaja dalam Pemilihan Ketua Umum IA-ITB pada 2021.

Sebelum jadwalnya dipenuhi dengan rapat daring, Amandra Mustika Megarani, Stanno Yudha Putra, Ardian Perdana Putra dan fotografer Angga Cipta Purnama dari Alumnia mewawancarai dia pada November pagi di Depok. Berikut ini petikannya:

T: Seberapa besar kekuatan percakapan media sosial dalam pemenangan pemilu?
J: Ridwan Kamil pada 2013 ikut Pemilihan Wali Kota Bandung. Saat itu ada enam pasangan calon. Di sosial media, dia menang hampir 60%. Saya beri tahu Emil dan timnya,”lu pasti menang satu putaran.”Ternyata memang benar. Kalau dia menang di media sosial, dia menang di bilik suara.

Pada 2014, lewat analisis media sosial, Jokowi menang lawan Prabowo. Hasil di media sosial dan KPU bedanya hanya 1%. Pemilu kali ini bakal lebih signifikan untuk pe- menangan karena pengguna media sosial lebih banyak.

T: Apakah media sosial juga mempengaruhi kemenangan caleg?
J: Media sosial itu bisa jadi alat bantu caleg menang, teru- tama yang tidak punya narasi. Pada 2019, saya fokus menjadi konsultan untuk kampanye digital 10 calon legis- latif, 3 calon tidak sabar tidak melanjutkan konsultasi se- belum pemilihan. Dari 7 caleg, ada 4 yang lolos ke parle- men. Tiga lainnya kena masalah luar biasa. Ada satu caleg DPD satu-satunya yang bukan putra daerah. Dia populer tapi jadi musuh bersama caleg lainnya. Sisanya, kena tsu- nami politik. Seminggu sebelum pemilihan, ketua partai- nya kena OTT di Jawa Tengah.

T: Konten media sosial seperti apa yang harus disajikan Caleg?
J: Pilihan warganet itu tergantung konten yang diberikan. Caleg hanya perlu satu videografer yang menemani dia ke mana saja untuk mengambil footage lalu dikirim. Tim kami akan mengedit, memberikan narasi, mengunggah ke media sosial dan mengiklankan. Setiap hari minimal satu konten. Dari situ, bisa dilihat respon dan pergerakannya di media sosial. Setiap dua pekan akan dievaluasi.

T: Platform apa yang cocok untuk melihat respon dan pergerakannya?
J: Kalau X itu untuk nasional. Kalau untuk caleg itu di Tik- tok, Instagram, Facebook dan Youtube. Pengguna bisa di- lokalisasi termasuk iklannya. Untuk Tiktok, kami tidak mengiklankan, dibiarkan organik. Tapi platfotm ini suka bikin kejutan. Konten yang menurut kita bagus, ternyata biasa-biasa saja. Yang biasa, ternyata bagus. Biasanya ka- lau di Tiktok sukses di platform lain juga sukses. Seperti- ga dari keramaian di media sosial itu sudah bagus.

T: Ada yang menyebut bahwa popularitas Tiktok potensial untuk meraih suara generasi Z?
J: Tiktok itu enggak sepenuhnya Gen Z. Ada konten caleg yang saya unggah ke Tiktok. Kontennya enggak gen Z sama sekali. Dia ngomong filosofi Jawa. tapi yang nonton jutaan di Tiktok. Di Instagram hanya ratusan.

T: Bagaimana cara mengukur popularitas caleg di media sosial?
J: Jangkauannya media sosialnya berapa banyak, di mana saja. Iklan saya targetkan di dapil. Kontennya bisa seperti kuliner yang sedang populer di dapil itu. Lalu disesuaikan dengan karakternya. Pada 2019 ada caleg perempuan 23 tahun. Dia dari Sulawesi tapi masuk dapil Jawa Barat yang 98% muslim dan sunda. Caleg ini cerdas dan ramah. Jadi setiap ada komentar di Instagram kita jawab dengan keramahan. Ketika dia datang ke dapil, ibu-ibu memeluk dia seperti keluarga sampai dia bingung. Tapi karena dia pada dasarnya ramah, dia bisa menyesuaikan. Sekarang dia sudah di Senayan.

T: Bagaimana dengan Pilkada?
J: Pertarungan Pilkada lebih sadis. Kalau Pileg itu bagai- mana tim upgrading politisinya. Pilkada dan Pilpres eng- gak hanya menaikkan popularitas politisi, tapi menurun- kan popularitas lawan politik. Kalau saya lihat Pilpres se- karang tim paslon tiga sibuk menghajar paslon dua. Mereka pasti panik, suara PDIP (pada 2019) itu 20%, suara Jokowi di Pilpres itu 54%

T: Apa yang harus dilakukan para kandidat untuk menang?
J: Kandidat yang menang biasanya justru kandidat yang khawatir kalah, sehingga dia menggunakan banyak cara untuk memenuhi banyak segmen media sosial. Yang me- nang, biasanya juga bisa menangkap isu suasana batin calon pemilih. Pemilih butuh yang seperti apa. Kalau pemilihnya ibu-ibu, kadang enggak perlu gagasan. Ganteng saja sudah cukup. Yang perlu diingat, karakteristik pemi- lih kita itu emotional voters.

T: Maksudnya?
J: Pergerakan isu di media sosial pada saat-saat akhir sa- ngat menentukan. Pada pemilihan Ketua IA-ITB tahun 2021, misalnya. Pada hari pemilihan, pukul 10.00 ada grafik yang tersebar di whatsapp group kelompok yang mendukung Gembong. Mereka mengira Gembong menang. Jadilah mereka berbondong-bondong ke kampus untuk memilih. Padahal di grafik tidak ada keterangan.