Saatnya Indonesia Melangkah ke Era Energi Hijau dan Biru: Potensi Melimpah dan Hilirisasi Industri
Transisi energi fosil menuju green and blue energy memiliki potensi melimpah di Indonesia. Hal ini sangat memungkinkan karena Indonesia sebagai poros negara maritim memiliki potensi sumber daya alam yang sangat besar untuk energi terbarukan, seperti sinar matahari, angin, dan sumber daya air yang melimpah.
Selain itu, transisi ke energi hijau dan biru sesuai dengan komitmen global Indonesia untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dan mengatasi perubahan iklim. Menurut Kementerian Lingkungan Hidup, Target awal Indonesia adalah untuk menurunkan besaran emisi sebesar 29% dan meningkatkan sampai dengan 41% pada tahun 2030 mendatang. Dengan adopsi energi terbarukan, Indonesia dapat memenuhi target-target keberlanjutan dan kontribusi dalam mitigasi perubahan iklim. Menurut pandangan pakar, guna transisi tersebut berhasil perlu dikakukan hilirisasi industri sesegera mungkin.
Berbicara mengenai pemanfaatan potensi melimpah energi hijau dan biru terbarukan sendiri, Pada Selasa (9/1), Komunitas Discordia menggelar diskusi dengan tema “Green and Blue Energy: Big Push for the Future” di Meat Compiler Cikajang, Jakarta Selatan. Acara ini dihadiri oleh berbagai pembicara terkemuka, termasuk Founder dan Chairman Discordia Khalid Zabidi, Founder dan President Commissioner VKTR serta Ketua Dewan Pertimbangan KADIN Anindya Bakrie, Peneliti Senior BRIN Zulkaida Akbar, dan Executive Vice President PLN Aditya Syarief Darmasetiawan. Selain itu, acara tersebut juga bertujuan sebagai wadah untuk berkumpulnya alumni-alumni muda ITB guna menyampaikan gagasan dengan pendekatan baru.
Dalam seminar “Blue and Energy: Big Push for The Future”, Discordia menekankan bahwa momentum transisi energi harus dimanfaatkan oleh Indonesia untuk menjaga ketahanan energi dan mencapai net zero emission. Khalid selaku founder Discordia menilai kebijakan hilirisasi yang dilakukan pemerintahan Jokowi sebagai langkah strategis dalam mencapai blue-green economy dan net zero emission.
“Pentingnya dorongan kuat dalam proses hilirisasi untuk mencapai ketahanan dan keamanan energi di Indonesia (menjadi sangat penting).” Ungkap Khalid.
Pernyataan senada juga diujarkan oleh Anindya Bakrie, Founder dan President Commissioner VKTR, yang turut memberikan pandangan bahwa nilai investasi dekarbonisasi Indonesia, yang mencapai 1 triliun dolar AS, seharusnya digunakan untuk hilirisasi tidak hanya nikel tetapi juga sumber daya lainnya seperti tembaga. Hal ini dapat meningkatkan nilai tambah ekonomi Indonesia, terutama di Indonesia Timur, yang menjadi lokasi utama sumber energi baru.
Nilai investasi tersebut, menurut Anindya seharusnya digunakan untuk hilirisasi tidak hanya nikel, tetapi juga sumber daya seperti tembaga dan lain-lain sehingga bermanfaat meningkatkan nilai tambah ekonomi Indonesia.
“Dan sumber-sumber energi baru tersebut kebanyakan berada di Indonesia Timur sehingga kebijakan hilirisasi akan memeratakan pembangunan kita,” jelas Anindya.
Pada pemaparannya, Khalid Zabidi mengkorelasikan konteks hilirisasi industri dengan teori skala Kardashev, yang menyatakan bahwa manusia saat ini berada pada ambang peradaban skala I. Ini berarti manusia mampu mengoptimalkan semua sumber energi yang ada di Bumi. Dia juga menggambarkan potensi melimpah energi hijau dan biru di Indonesia, seperti pemanfaatan energi dari potensi vulkanik, gempa bumi, dan gelombang laut.
“Peradaban tingkat I ini diramalkan Kardashev manusia akan mampu memanfaatkan segala sumber daya energi yang tersedia di bumi, misalnya memanen energi dari potensi vulkanik, gempa bumi dan gelombang laut atau tsunami,” ungkap alumni ITB tersebut.
Khalid juga menambahkan, momentum transisi energi mesti dimanfaatkan oleh Indonesia sesegera mungkin. Hal ini untuk menjaga ketahanan energi dalam negeri, dengan waktu bersamaan harus mendudukkan Indonesia menjadi negara yang bisa berperan penting bagi terjadi net zero emission.
“Dan saya menilai langkah pemerintahan Jokowi melakukan kebijakan hilirisasi merupakan langkah penting dan strategis Indonesia dalam momentum transisi energi menuju blue green economy yang dapat mewujudkan net zero emission sama dengan net zero poverty,” ungkap Khalid.
Pemanfaatan energi transisi ini memosisikan Indonesia menjadi salah satu negara yang penting karena Indonesia memiliki kekayaan sumber alam. Oleh karena itu, peluang Indonesia sangatlah terdepan untuk menjadi ‘key player’ dalam pemanfaataan energi teransisi tersebut.
“Indonesia mesti mendapatkan keuntungan dalam kesempatan ini karena Indonesia sangat kaya dengan sumber daya alam yang bisa mendukung teknologi-teknologi baru dalam penerapan energi baru terbarukan sehingga perlu memagari dalam pemanfaatannya dengan ecological integrity,” tutup Khalid.
Hilirisasi sendiri adalah suatu proses transformasi ekonomi berkelanjutan di mana kebijakan industrialisasi berbasis komoditas bernilai tambah tinggi, menuju struktur ekonomi yang lebih kompleks. Dengan hilirisasi, komoditas yang tadinya di ekspor dalam bentuk mentah atau bahan baku menjadi barang setengah jadi atau jadi. Contoh hilirisasi di Indonesia adalah produk batu bara yang dioptimalkan menjadi produk-produk turunan, seperti pupuk organik, briket, metanol, dan kokas. Lalu, contoh hilirisasi lainnya adalah nikel yang diolah menjadi logam antikarat atau baterai.
Sebagai penutup, dalam konteks diskusi ini, Chairman Discordia, Khalid Zabidi, menegaskan bahwa peran alumni muda ITB sangat penting dalam menyumbangkan ide-ide inovatif terkait transisi energi menuju green and blue energy di Indonesia. Diskusi tidak hanya berfungsi sebagai tempat berbagi pandangan yang beragam, tetapi juga sebagai langkah nyata menuju ketahanan energi dan penurunan emisi gas rumah kaca di tanah air. Khalid mengajak para alumni untuk terlibat aktif dalam upaya bersama menciptakan solusi berkelanjutan bagi masa depan energi Indonesia.